Hukum Pidana
Hukum Pidana
Hukum Pidana 01
BAHAN INISIASI 1DEFINISI ILMU HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA
Hukum dalam arti sebagai ilmu pengetahuan (ilmu hukum) yang berarti juga sebagai ilmu kaidah (normwissenschaft). Ilmu hukum adalah ilmu yang membahas hukum sebagai kaidah, atau bagian dari sistem kaidah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum. Friedmaan memberi pengertian ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum yang berkaitan antara filsafat hukum di satu sisi dan teori politik di sisi lain.
Menurut Hans Kelsen, yang dimaksud dengan ilmu hukum yakni sebagai ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku dan bukan hukum yang seharusnya. Sedangkan menurut Jan Gijssels, yang dimaksud dengan ilmu hukum adalah ilmu yang bersifat menerangkan atau menjelaskan tentang hukum. Jika dihubungkan pengertian sederhana mengenai ilmu hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Jan Gijssels dengan hukum pidana, maka dapat di definisiakan bahwa ilmu hukum pidana adalah ilmu pengetahuan yang menerangkan dan menjelaskan hukum pidana. Artinya, focus dari ilmu hukum adalah hukum pidana yang sedang berlaku atau hukum pidana positif (ius contitutum). Definisi demikian dapat dikatakan sebagai hukum pidana dalam pengertian sempit. Dalam pengertian yang luas, ilmu hukum pidana tidak hanya sebatas norma yang dilanggar saja tetapi juga membahas mengapa terjadi pelanggaran atas norma-norma tersebut, bagaimana agar norma tersebut tidak dilanggar dan mengkaji serta membentuk hukum pidana yang di cita-citakan (ius contituendem).
Ilmu hukum pidana adalah ilmu pengetahuan mengenai suatu bagian khusus dari hukum, yakni hukum pidana. Pengetahuan hukum pidana secara luas meliputi :
1. Asas-asas hukum pidana;
2. Aliran-aliran dalam hukum pidana;
3. Teori pemidanaan;
4. Ajaran kausalitas;
5. Sistem peradilan pidana;
6. Kebijakan hukum pidana;
7. Perbandingan hukum pidana.
Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Ditegaskan lagi oleh Sudikno Mertokusumo bahwa asas hukum bukanlah kaedah hukum yang konkrit, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak . Demikian pula menurut van Eikema Hommes yang menyatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Kebijakan hukum pidana adalah salah satu cabang ilmu hukum pidana yang mempelajari bagaimana penyusunan undang-undang yang berkaitan dengan hukum pidana. Dalam beberapa literatur digunakan istilah politik hukum pidana untuk menggantikan iatilah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana meliputi tahap formulasi sautu rumusan delik termasuk latarbelakang untuk menetapkan suatu perbuatan yang tadinya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana atau kriminalisasi. Termasuk dalam kebijakan hukum pidana adalah tahap penalisasi yaitu mencantumkan ancaman pidana terhadap perbuatan yang dikriminalkan.
Objek ilmu hukum pidana adalah aturan -aturan hukum pidana yang berlaku di suatu Negara. Tegasnya, objek ilmu hukum pidana adalah aturan-aturan pidana positif yang berlaku di suatu negara. Pertanyaan lebih lanjut, apakah yang dimaksukan dengan aturan-atutran atau ketentuan pidana. Dengan demikian dalam konteks Indonesia yang menjadi objek ilmu hukum pidana dalam pengertian yang luas adalah :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang meliputi asas-asas hukum pidana, kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Undan-Undang Pidana di luar kodifikasi atau KUHP
4. Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang-Undang lainnya
5. Ketentuan pidana yang terdapat dalam Peraturan Daerah
Tujuan ilmu hukum pidana
Gustav Radbruch dalam Vorschule der Rechtsfilosofie, menyatakan, “Rechtswissenschaft its die wissenschaft vom obyektiven sinn des positiven rechts”. Artinya, ilmu pengetahuan hukum bertujuan untuk mengetahui objektifitas hukum positif. Dengan demikian, tujuan ilmu hukum pidana adalah untuk mengeathui objektifitas dari hukum pidana positif. Dalam konteks teori, objektivitas hukum pidana positif dapat dilihat dari substansi hukum pidana positif yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang. Terkait perbuatan-perbuatan yang dilarang, ada yang bersifat sebagai rechtsdelicten dan ada yang bersifat sebagai wetdelicten.
Secara garis besar suatu peraturan hukum dapat dibagi menjadi tiga :
1. Isi peraturan hukum yang bersifat perintah. Peraturan hukum bersifat perintah biasanya suruhan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu.
2. Isi peraturan hukum yang bersifat perkenan. Di sini peraturan hukum tersebut boleh diikuti atau tidak diikuti. Isi peraturan hukum yang bersifat sebagai perkenan atau perbolehan banyak terdapat di bidang hukum keperdataan.
3. Isi peraturan hukum yang bersifat larangan. Di sini isi peraturan tersebut melarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Isi peraturan hukum yang bersifat melarang sebagian besar terdapat di hukum pidana.
Secara sederhana pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat atas perbuatan-perbuatan yang mana menurut aturah hukum pidana adalah perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu setiap perbuatan pidana harus mencantumkan dengan tegas perbuatan apa yang dilarang berikut sanksi pidana yang tegas bilamana perbuatan tersebut dilanggar. Wujud penderitaan berupa pidana atau hukuman yang dijatuhkan oleh negara diatur dan ditetapkan secara rinci, termasuk bagaimana menjatuhkan sanksi pidana tersebut dan bagaimana melaksanakannya.
Secara singkat Moeljatno memberi pengertian hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.
Hukum pidana dapat dibagi atas dasar hukum pidana materiil dan hukum pidana formil; hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif; hukum pidana umum dan hukum pidana khusus; hukum pidana nasional, hukum pidana lokal dan hukum pidana internasional; dan hukum pidana tertulis dan hukum pidana yang tidak tertulis. Berikut ini adalah penjelasan mengenai pembagian hukum pidana tersebut.
Hukum Pidana Materiil Dan Hukum Pidana Formil
Hukum pidana materiil berisi perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau perbuatan-perbuatan harus dilakukan yang disertai ancaman pidana. Singkatnya, hukum pidana materiil berisi mengenai perbuatan-perbuatan pidana. Hukum pidana formil pada dasarnya sama dengan hukum formil lainnya yaitu untuk menegakkan hukum materiil. Dengan demikian hukum pidana formil adalah untuk menegakkan hukum pidana materiil. Hukum pidana formil pada dasarnya berisi mengenai cara bagaimana menegakkan hukum pidana materiil melalui suatu proses peradilan pidana.
Pembagian hukum pidana menjadi hukum pidana materiil dan formil secara tegas dikatakan oleh van Hamel, “..... hukum pidana biasanya juga meliputi pemisahan dua bagian, yang materiil dan yang formal. Hukum pidana materiil menunjuk pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang menetapkan pidana bagi yang melanggarnya ; yang formal mengenai bentuk dan jangka waktu yang mengikat penegakan hukum materiil.....”
Hukum Pidana Dalam Arti Objektif Dan Dalam Arti Subjektif.
Hazewinkel Suringa mendefinisikan hukum pidana objektif yang juga disebut sebagai jus poenale sebagai perintah dan larangan yang pelanggaran terhadap larangan dan norma tersebut diancam pidana oleh badan yang berhak; ketentuan-ketentuan mengenai upaya-upaya yang dapat digunakan jika norma itu dilanggar yang disebut sebagai hukum penitentiaire tentang hukum dan sanksi dan aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma tersebut. Sedangkan hukum pidana yang subjektif atau jus puniendi menurut Suringa adalah hak negara untuk menuntut pidana, hak untuk menjatuhkan pidana dan hak untuk melaksanakan pidana.
Hukum Pidana Umum Dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga Negara sebagai subjek hukum tanpa membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Materiil hukum pidana umum ini bersumber pada KUHP dan formil hukum pidana umum berusmber pada KUHAP. Selain hukum pidana umum ini, ada juga yang disebut sebagai hukum pidana khusus. Pembagian hukum pidana khusus dapat didasarkan atas dasar subjek hukumnya maupun atas dasar pengaturannya.
Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja, misalnya. hukum pidana militer. Hukum pidana militer merupakan hukum pidana khusus yang tertua di dunia yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang menjadi anggota militer aktif. Hukum pidana militer ini dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Pelanggaran terhadap KUHPM juga tidak diadili di lingkungan peradilan umum melainkan diadili di lingkungan peradilan militer.
Hukum Pidana Nasional, Hukum Pidana Lokal Dan Hukum Pidana Internasional
Hukum pidana nasional ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Bentuk hukum dari hukum pidana nasional adalah undang-undang. Hukum pidana nasional ini dimuat dalam KUHP dan undang-undang khusus baik yang termasuk undang-undang pidana maupun bukan undang-undang pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama-sama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota. Bentuk hukum pidana lokal dimuat dalam peraturan Daerah dan hanya berlaku bagi daerah tersebut saja. Ada pembatasan terhadap ancaman pidana yang boleh dicantumkan dalam suatu peraturan daerah. Sebagi misal, dalam peraturan daerah tidak diperkenankan mencantumkan sanksi pidana berupa penjara. Demikian pula ada batasan maksimum pidana kurungan dan pidana denda yang dapat dijatuhkan.
Roling mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata dilakukan jika terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya.
Hukum Pidana Tertulis Dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum pidana tertulis disebut juga dengan hukum pidana undang-undang yang terdiri dari hukum pidana kodifikasi seperti KUHP dan KUHAP dan hukum pidana di luar kodifikasi, yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum pidana yang dijalankan oleh negara adalah hukum pidana tertulis sebagai konsekuensi asas legalitas.
Hukum pidana tidak tertulis disebut juga hukum pidana adat yang keberlakuan dipertahankan dan dapat dipaksakan oleh masyarakat adat setempat. Hukum pidana adat tidak dapat dijalankan meskipun berdasarkan Pasal 5 (3b) Undang-Undang Nomor. 1/Drt/1951 memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat dalam arti yang sangat terbatas. Bila kita cermati konsep RUU KUHP keberadaan hukum pidana tidak tertulis patut diperhatikan. Dalam Bab I, Pasal 1 RUU KUHP dikatakan, “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Hukum Pidana 02
INISIASI 2
TUGAS DAN FUNGSI SERTA TUJUAN HUKUM PIDANA
Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.
Berikut ini disebutkan beberapa pendapat yang dikemukakan tentang fungsi/tugas hukum pidana.
Ada dua macam fungsi hukum pidana, yakni sebagai berikut :
1. Untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana (fungsi preventif)
2. Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (fungsi represif).
Jadi dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat
Menurut para ahli tujuan hukum pidana adalah :
1. Memenuhi rasa keadilan (Wirjono Prodjodikoro);
2. Melindungi masyarakat (social defence) (Tirtaadmidjaya);
3. Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara ( Kanter dan Sianturi);
Menyelesaikan konflik (Barda Nawawi).
Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:
1) Fungsi yang umum
Menurut Sudarto, fungsi umum hukum pidana adalah untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
2) Fungsi yang khusus
Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya.
Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum pidana berfungsi, sebagai berikut:
1) Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut;
2) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
3) Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Tujuan hukum pidana memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum yaitu azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis. Peninjauan bahan-bahan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum. Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah memidana seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari kejahatan (Kriminologi). Didalam Etiologi terdapat beberapa aliran (mazhab=sekolah) tentang sebab-sebab kejahatan antara lain:
1) Aliran Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C. Lombrosso yang menyimpulkan bahwa memang ada orang jahat dari sejak lahir dan tiap penjahat mempunyai banyak sekali sifat yang menyimpang dari orang-orang biasa.
2) Aliran Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne, aliran ini menolak aliran diatas dengan mengeluarkan pendapat bahwa seseorang pada dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.
3) Aliran Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E. Feri, aliran ini merupakan sintesa dari kedua aliran diatas yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil dari faktor-faktor individual dan social.
Tugas ilmu hukum pidana yakni sebagai berikut:
1) Menerangkan. Ilmu hukum pidana bertugas menerangkan atau memberikan pengertian objektif dari hukum pidana. Tugas ini tentunya setelah dilakukan analisis dan sistematika terdahulu;
2) Menganalisis. Tugas menganalisis ini terutama dilakukan melalui metode-metode penemuan hukum, yang mencakup penafsiran dan konstruksi hukum;
3) Menyistematiskan. Dalam hal ini. Ilmu hukum pidana harus merumuskan asas asas yang menjadi landasan dari peraturan-peraturan hukum pidana dan kemudian menata asas asas hukum pidana tersebut;
4) Fungsi kritik. Menurut Rammelink, ilmu hukum pidana juga mempunyai fungsi kritik, yaitu menelaah soal soal perlunya penyelarasan antara peraturan perundang-undangan dengan asas asas hukum pidana.
Hukum Pidana 03
PERBUATAN PIDANA
Perbuatan pidana oleh Moeljatno yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut.
1. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.
Terkait dengan perilaku manusia yang berdimensi publik yang ditetapkan oleh undang-undang dan ditentukan dalam aturan pidana. Aturan pidana itu adalah aturan hukum, sebagaimana diketahui aturan hukum berisikan penilaian, bahwa kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum itu adalah baik atau jelek bagi masyarakat, dan sepatutnyalah jikalau kelakuan demikian boleh dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam masyarakat.
Perihal Pengertian kata ’perbuatan’ dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, Noyon dan Langemeijer menyebutkan bahwa perbuatan yang dimaksud dapat bersifat positif dan negatif. Perbuatan bersifat positif berarti melakukan sesuatu, sedangkan perbuatan bersifat negatif mengandung arti tidak melakukan sesuatu . Tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dikenal dengan istilah omissions . Sedangkan mengenai kata ’perbuatan dapat dipidana’ atau istilah ’perbuatan pidana’ terdapat perbedaan yang prinsip antara para ahli hukum pidana Belanda dan para ahli hukum pidana Indonesia yang dipelopori Moeljatno.
Bentuk-bentuk Perumusan Perbuatan Pidana Dalam Undang-undang
Adapun tujuan dengan dirumuskan dan dituangkan dalam undang-undang adalah sebagai langkah preventif baik secara umum (kepada Masyarakat) dan preventif Khusus (kepada pelaku perbuatan pidana) serat bertujuan refresif kepada pelaku yang telah melakukan perbuatan yang dicelakakan kepadanya.
Adapun bentuk perumusannya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Kategori pertama
a) Perumusan formal, yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akibat yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah dapat dipidana, contoh: pasal 362 KUHP tentang pencurian yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Istilah “mengambil” berarti suatu perbuatan yang tidak lebih, yang mana perbuatan mengambil itu menimbulkan kehilangan milik secara tidak sukarela, yaitu akibat yang tidak dikehendaki yang dimaksud pembentuk undang-undang.
b) Perumusan materiel, yaitu yang dilarang dan dapat dipidana adalah menimbulkan akibat tertentu, meskipun perbuatan disini juga penting, sudah terkandung di dalamnya, contoh : pasal 359 KUHP tentang menyebabkan matinya orang lain.
c) Perumusan materiel-formil, yaitu antar perbuatan dan akibat dicantumkan dalam rumusan pasal, contoh: pasal 378 KUHP tentang penipuan.
2. Kategori kedua
a) Delik Komisi, adalah apabila pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu atau dalam kata lain pelanggaran terhadap norma yang melarang menimbulkan delik komisi, contoh: pasal 362 KUHP tentang pencurian.
b) Delik Omisi, adalah kebalikan dari delik komisi dimana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, atau dalam kata lain adalah melanggar norma yang memerintahkan delik omisi.
c) Delik omisi semu, adalah menyebabkan menimbulkan akibat karena lalai, meskipun rumusan delik yang akan diterapkan tertuju pada berbuat dan berlaku untuk semua orang. Tapi dalam hal ini delik omisi semu harus mempunyai batasan-batasan karena bisa meluas pada delik berbuat dan tidak berbuat, contoh: pasal 338 KUHP terhadap kasus seorang ibu sengaja tidak memberikan makan kepada bayinya dan akhirnya meninggal.
Dalam metode perumusan ada beberapa pendapat tentang metode perumusan delik, diantaranya: menurut pendapat Jonkers yang mengenal empat metode rumusan delik di dalam undang-undang, yang terdiri atas :
1. Yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya pasal 279, 281, 286, 242, dan sebagainya dari KUHP.
2. Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti pasal 263, 362, 372, 378 dari KUHP
3. Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan pasal 351, dan pembunuhan pasal 338 dari KUHP
4. Kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya pasal 521 dan pasal 122 ayat (1) dari KUHP.
Definisi Strafbaarfeit
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Secara literlijk, kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah Strafbaarfeit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum. Padahal sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.
Dalam ilmu hukum pidana, dijumpai beberapa istilah yang berhubungan dengan penyebutan terhadap perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masyarakat atau bisa dikatakan suatu perbuatan yang tercela, dimana pelakunya dapat diancam dengan pidana tertentu sebagaimana yang tercantum dalam peraturan hukum pidana baik di dalam KUHP atau di luar KUHP. Istilah-istilah yang dimaksud antara lain: peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana, yang ketiga istilah tersebut sering dipergunakan oleh pembuat undang-undang. Dalam merumuskan undang-undang, sedang dalam KUHP (WvS) yang merupakan kopian dari KUHP Belanda dikenal istilah Strafbaarfeit, yang pada umumnya para pengarang Belanda menggunakan istilah tersebut.
Istilah peristiwa pidana pernah digunakan dan dicantumkan dalam pasal 14 ayat 1 UUDS (Undang-undang Dasar Sementara) 1950. Pengertian dari peristiwa pidana menurut Prof. Moeljatno kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak, karena peristiwa pidana menunjuk pada pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang, terhadap peristiwa tersebut tidak mungkin dilarang, tapi yang dilarang oleh hukum pidana adalah matinya orang karena perbuatan orang lain, tapi apabila matinya orang tersebut karena keadaan alam, sakit, maka peristiwa tersebut tidak penting sama sekali bagi hukum pidana.
Istilah perbuatan pidana merupakan istilah yang mengadung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Pengertian pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberi arti yang bersifaf ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Istilah tindak pidana digunakan dan tercantum dalam pasal 129 Undang-undang No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstitusi dan anggota DPR, Undang-undang Pemberantasan Korupsi, dan lain-lain contoh pada Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perbuatan pidana yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana dinamakan “delik” yang dalam sistem KUHP terbagi dalam dua (2) jenis yaitu :
a) Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan adalah Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam KUHP yaitu pada pasal 362 tentang pencurian, pasal 378 tentang penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan kejahatan menurut ilmu kriminologi.
b) Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran adalah politie-onrecht adalah perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan dilarang oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk pelanggaran dalam KUHP adalah: pasal 504 tentang pengemisan, pasal 489 tentang kenakalan, dan lain-lain.
Untuk mengetahui adanya perbuatan pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa elemen atau unsur/ syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
Pendapat yang membagi elemen-elemen perbuatan pidana secara mendasar yang terdiri dari:
1) Bagian yang obyektif menunjuk perbuatan pidana terdiri dari perbuatan dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana;
2) Bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan daripada perbuatan pidana.
Prof. Moeljatno yang membagi unsur-unsur tindak pidana terdiri dari :
1. Kelakuan dan akibat
2. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum; yang dibagi menjadi :
• Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut
• Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini.
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP : barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
(2) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana
4. Unsur melawan hukum:
Unsur melawan hukum dapat obyektif, yaitu menunjukkan keadaan lahir dari pelaku; dan unsur melawan hukum subyektif, yaitu menunjukkan sikap batin dari pelaku. Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada. Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.
Esensi dari elemen-elemen perbuatan pidana adalah yang pokoknya berwujud suatu kelakuan (dan akibat) yang bersifat melawan hukum baik formal maupun material.
Pendapat yang menyatakan melawan hukum merupakan unsur dari suatu delik atau diam-diam menganggap sebagai unsur delik berarti mempunyai alam pikiran yang luas, yaitu :
1. Lebih mudah menerima pandangan sifat melawan hukum materiel.
2. Sifat melawan hukum merupakan elemen tetap dari tiap-tiap delik meskipun tidak disebutkan dalam rumusan.
3. Dapat mengakui pengecualian sebagai penghapusan sifat melawan hukum di luar undang-undang atau hukum positif tidak tertulis.
4. Untuk mengadakan pembuktian melawan hukum oleh penuntut umum, hanyalah apabila dalam rumusan suatu delik dirumuskan dengan tegas.
Apabila elemen melawan hukum tidak dirumuskan dalam suatu delik, maka tidak perlu dibuktikan, kecuali menurut pandangan hakim ada keragu-raguan unsur tersebut sehingga di dalam sidang atas inisiatif pimpinan dicari pembuktiannya elemen melawan hukum tersebut.
Hukum Pidana 04
A. Pidana Pokok, Pidana Tambahan, Single Track System dan Double Track System
Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana);
2. Beratnya sanksi itu;
3. Lamanya sanksi itu dijalani;
4. Cara sanksi itu dijalankan;dan
5. Tempat sanksi itu dijalankan.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi:
1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi rumusan delik/pasal).
Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun 1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi).
Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang (pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Jenis-Jenis Pidana dalam KUHP (Pasal 10), yakni sebagai berikut:
A. Pidana Pokok, terdiri dari:
a. Pidana Penjara;
b. Pidana Mati;
c. Pidana Kurungan;
d. Pidana Tutupan;
e. Pidana Denda
B. Pidana Tambahan Terdiri dari:
a. Pencabutan beberapa hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu;
c. Pengumuman keputusan hakim.
Dalam konsep perundang-undangan yang masih menganut sistem satu jalur (single track system), penjatuhan (stelsel) sanksinya hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan saja sebagai bentuk penghukuman. Sedangkan dalam konsep perundang-undangan yang menganut sistem dua jalur (double track system), stelsel sanksinya mengatur dua hal sekaligus, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Pendapatnya Sudarto menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.
sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik ini menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (the definite sentence). Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan.
Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran klasik sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis dan ukuran pemidanaan. Pidana dijatuhkan sesuai dengan yang ada di dalam undang-undang tanpa perlu melihat pribadi pelaku tindak pidana, sehingga dikenallah sistem pidana yang ditetapkan secara pasti (definite sentence) yang sangat kaku (rigid).
Tokoh-tokoh aliran ini adalah, Cesare Beccaria, yang lahir di Italia pada tanggal 15 Maret 1738 dengan karya nya yang sangat terkenal yaitu Dei Delitti e delle pene (1764) yang diterbitkannya pertama di Inggris tahun 1967 dengan judul On Crimes and Punishment. Bertolak dari filsafat kebebasan kehendak, Cesare Beccaria melalui karyanya memberikan sumbangan pemikiran yang sangat besar dalam pembaharuan peradilan pidana dengan doktrin “pidana harus sesuai dengan tindak pidana”. Tokoh lain aliran klasik adalah Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filsof Inggris yang diklasifikasikan sebagai penganut utilitarians hedonist.
Teori yang sangat terkenal adalah yang dinamakan felicific calculus. Teori ini menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan.
Suatu aliran yang berasal dari aliran klasik yaitu aliran neoklasik (Neoclassical School). Sebagaimana aliran klasik, aliran inipun bertolak dari pandangan indeterminisme atau kebebasan kehendak. Menurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu
berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumstances).
menurut Herbert L. Packer, terlibat dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda antara satu sama lain, yaitu pandangan retributive (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view) yaitu pandangan yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan positif lebih lanjut (theological theories).
Dalam perspektif utilitarian, yang dilihat justru adalah situasi atau keadaan yang dingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Menurut pandangan ini pemidanaan harus mempunyai sifat prevensi, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Dalam pandangan utilitarian pidana yang dijatuhkan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya (prevensi khusus), di samping dimaksud juga untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa (prevensi umum). Karena itu, pandangan utilitarian ini dianggap berorientasi ke depan (forward looking).
Aliran modern – yang lebih dikenal aliran positif – konsepsi pemikiran ajarannya bertujuan untuk secara langsung mengadakan pendekatan dan berusaha mempengaruhi pelaku tindak pidana secara positif sejauh masih dapat dibina dan diperbaiki menuju kembali ke jalan yang benar. Dalam aliran ini, pidana tidak ditentukan secara pasti (indeterminate sentence) karena different criminal have different needs, seperti yang diungkapkan oleh Cesare Lombroso.
Pengaruh perkembangan kesadaran hukum masyarakat memunculkan aliran neo klasik yang menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia, yang mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran neo klasik memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara batas minimum dan maksimum yang ditentukan dalam undang-undang.
seperti yang dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan , sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat social.
Perbedaan orientasi ide dasar dari dua jenis sanksi tersebut, sebenarnya memiliki kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber ide sanksi tindakan.
Alasan Penghapus Pidana
apa yang dimaksud dengan “hukum pidana subjektif” (subjectief strafrecht) disebut juga dengan “ius puniendi”, yaitu hak subjektif dalam hal menegakkan aturan hukum pidana. Sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, hanya negara saja yang memegang hak penegakan hukum pidana, in casu ialah hak untuk menuntut pidana terhadap barangsiapa yang telah diduga melanggar aturan pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk undang-undang. Demikian pula hanya negara saja yang memegang hak untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu.
Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan. Seandainya penuntut umum tetap mengadakan penuntutan, maka akan diitolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet-ontvankelijk verklaring van het O.M). Hal ini diatur dalam Pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena ne bis in idem diatur dalam Pasal 76 KUHP.
letak perbedaan antara dasar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan pidana, yaitu pada putusan hakim. Pada peniadaan pidana putusan hakim merupakan putusan akhir (vonis), sedangkan pada peniadaan penuntutan disebut penetapan hakim (beschiking). Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut. Dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut KUHAP, ialah kasasi. Sebaliknya, upaya hukum untuk melawan suatu penetapan hakim berupa suatu tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, ialah perlawanan (verzet).
Jonkers memberikan tanda perbedaan, bahwa strafuitsluitingsgronden adalah pernyataan untuk dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging), sedangkan pada vervolgingsuitsluitingsgronden adalah pernyataan tuntutan tidak dapat diterima oleh badan penuntut umum.
Hapusnya hak penuntutan
Hak penuntutan ditentukan undang-undang hanya ada pada penuntut umum yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No.8 Tahun 1981 pasal 13 dan 14 di lingkungan peradilan umum dan oditur militer berdasarkan pasal 17 ayat 3 UU No.1 Drt tahun 1958 di lingkungan peradilan militer.
Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
a. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)
b. Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang sama/ Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
c. Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
d. Daluwarsa/ lewat waktu/ verjaring (pasal 78 KUHP)
e. Penyelesaian di luar pengadilan/ afdoening buiten process (pasal 82 KUHP)
f. Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (undang-undang peradilan anak)
Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :
a. Abolisi
b. Amnesti
c. Grasi.
Pencegahan dan penangguhan.
a. Pencegahan (stuiting).
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa / mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.
b. Penangguhan (scorsing).
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan (schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
PENYELESAIAN DI LUAR ACARA (Afdoening Buiten Process)
Pasal 82 KUHP memberikan kemungkinan suatu perkara pidana tertentu dengan cara tertentu dapat diselesaikan tanpa harus menyidangkan si pembuatnya dan menjatuhkan pidana kepadanya. Tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan, tetapi hanyalah perkara pidana pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja, dengan cara “secara sukarela si pembuat membayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai”. Dengan dibayarnya denda maksimum dan biaya-biaya tersebut, maka hapuslah kewenangan negara untuk melakukan penuntutan pidana terhadap diri pembuat. Lembaga ini disebut dengan afkoop atau penebusan tuntutan pidana, yang hanya ada dalam tindak pidana pelanggaran, khususnya yang diancam dengan pidana denda saja.
Ada dua bentuk yaitu submissie dan compotitie. Dengan atau melalui submissive terdakwa dan organ penuntut umum memaparkan persoalan ke hadapan hakim. Submissive tercantum dalam Pasal 74 Ned. WvS (KUHP Belanda). Tidak terdapat pidananya dalam KUHP Indonesia.
Bentuk kedua adalah compositie yaitu penghentian penuntutan dengan membayar uang tertentu. Penghentian penuntutan dengan syarat ganti kerugian kepada korban termasuk peradilan restorative (restorative justice). Ini berarti dipentingkan pemulihan keadaan akibat kejahatan yang terjadi.
Hapusnya pelaksanaan pidana
Pidana yang dijatuhkan melalui putusan hakim pada orang yang dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana, pada saat mempuyai kekuatan hukum tetap menjadi wajib untuk dijalankan. Pada hari jatuhnya putusan menjadi tetap, pada saat itu terbitlah hak negara untuk menjalankan pidana tersebut, kecuali putusan pidana mati, yang masih memerlukan flat executive (pernyataan setuju untuk dijalankan) dari presiden (Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1950). Akan tetapi ada alasan-alasan yang menjadi dasar kehilangan hak negara untuk menjalankan putusan pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik yang bersumber pada KUHP maupun diluar KUHP.
Hapusnya pelaksanaan pidana ditinjau dari penuntut umum berarti hapusnya hak penuntut umum untuk memerintahkan terpidana menjalani pidananya dari terpidana berarti hapusnya kewajiban untuk menjalani pidana tersebut.
Dalam hal terpidana meninggal dunia ini diatur dalam Pasal 83 KUHP. Pasal 83 KUHP menentukan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 ayat (2), yaitu :
Untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.
Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun.
Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 ) ditambah sepertiga.
Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan.
a. Pencegahan (stuiting)
Pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :
1) Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana.
Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan diri.
2) Jika pelepasan bersyarat dicabut
Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung).
b. Penangguhan (schorsing).
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3)) yaitu :
selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
Utrecht menyebutkan 4 alasan pemberian grasi, yaitu :
1. kepentingan keluarga dari Terpidana
2. terpidana pernah berjasa bagi masyarakat
3. terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
4. terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga Permasyarakatan dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun.
Tabel Perbandingan Grasi dan Amnesti
Grasi Amnesti
1. Pada perseorangan dengan menyebut nama. 1. Diberikan tanpa menyebut nama, dari kejahatan tertentu dalam waktu dan daerah tertentu.
2. Tidak perlu pertimbangan tentang putusan hakim yang berkekuatan tetap. 2. Perlu pertimbangan putusan hakim yang berkekuatan tetap.
3. Tidak meniadakan kesalahan dan atau sifat melawan hukum perbuatan terdakwa. 3. Meniadakan kesalahan/ sifat melawan hukumnya tindakan tiada cap narapidana.
4. Tidak meniadakan ketentuan pengulangan (residiv) sebagai tindakan yang pertama. 4. Meniadakan ketentuan mengenai pengulangan (residiv).
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah dimulai.
A. Definisi Perbarengan Perbuatan Pidana
Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.
Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang ini, Utrecht (1965:197) mengemukakan tentang tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu:
a. Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana.
b. Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat oleh hakin dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka di sini terdapat pengulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang kedua ini terjadi pengulangan, dan di sini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.
c. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka di sini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.
Perbarengan tersebut dapat dikatakan apakah merupakan dasar pemberat pidana atau peringan pidana, tergantug pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkrit tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian.
Peraturan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaiamana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana (sistem penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana dimana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Konkritnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai; cara menyidangkan atau memeriksa (meyelesaikan) perkara dan cara atau sistem penjatuhan pidananya terhadap satu orang orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan.
Mengenai cara menyelesaikan perkara demikian, undang-undang menghendaki ialah dengan memberkas beberapa tindak pidana itu dalamm satu berkas perkara dan menyidangkannya dalam satu perkara oleh satu Majlis Hakim, dan tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan menyidangkannya sendiri-sendiri oleh beberapa majlis hakim. Perwujudan dari kehendak undang-undang ini juga terdapat dalam pasal 141 KUHP atau dulu pasal 250 ayat (14) HIR.
Perbarengan peraturan (concursus idealis) yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai adalah sistem absorbsi. Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut pasal 281. dengan system absorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara. Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada dasarnya apabila satu wujud perbuatan (een feit) melanggar lebih dari satu aturan pidana. Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh pasal 63 ayat (1).
Penjatuhan pidana pada bentuk perbarengan peraturan dengan menggunakan system hisapan, artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari atura pidana itu, dan jika diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana terberat ancaman pidana pokoknya, dan apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana khusus itu saja.
Perbarengan Perbuatan Pidana Realis
Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan satu sama lain, dan yang masing-masing merupakan tindak pidana; hal tersebut dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan “gabungan beberapa perbuatan”.
Yang dimaksud dengan gabungan beberapa beberapa perbuatan ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
KUHP menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66.
Berdasarkan rumusan ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana-tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri pokok dari perbarengan perbuatan.
Dasar hukum gabungan beberapa perbuatan pidana (concursus realis)
3 syarat tentang syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah:
1. Harus ada satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;
2. Perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sejenis;
3. Jangka waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya tidak boleh berlangsung terlalu lama;