Teori kriminologi
Teori kriminologi
Teori kriminologi
Inisiasi 1
Pengertian Kriminologi dan Objek Studi Kriminologi
Permasalahan kejahatan memang telah banyak menarik perhatian para ilmuwan. Mereka tergerak untuk ikut serta mengamati dan menganalisis masalah kejahatan melalui metode ilmiah. Kondisi kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan lain seperti ilmu alam, kedokteran, dan biologi menambah peluang bagi pelacakan dan pembahasan perilaku manusia yang menyimpang dari norma-norma hukum (pidana).Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang masih relatif muda usianya, karena baru muncul pada permulaan abad ke-19. Hingga saat ini batasan tentang arti dan ruang lingkupnya masih tetap diperdebatkan karena masih adanya perbedaan atau silang pendapat yang menyangkut pengertian dan lingkup Kriminologi. Namun demikian, merujuk kepada pengertian bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat maka tentunya tugas dari kriminologi tidaklah sederhana. Kriminologi, oleh karenanya, harus dapat menjelaskan faktor-faktor atau aspek-aspek yang terkait dengan kehadiran kejahatan dan menjawab sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan jahat.
Dalam upaya mempelajari kejahatan maka kita perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perbuatan yang telah didefinisikan sebagai jahat itu. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan munculnya perbuatan jahat maka kita juga harus menggali pengetahuan tentang sebab-sebab mengapa seorang pelaku kejahatan (penjahat) melakukan perbuatan jahatnya. Dengan kata lain, dengan mempelajari kriminologi seseorang tidak hanya dapat menjelaskan masalah-masalah kejahatan tetapi juga diharapkan akan dapat mengetahui dan menjelaskan sebab-sebab mengapa kejahatan itu timbul dan bagaimana pemecahan masalahnya.
Menurut Sutherland (1960) yang termasuk dalam bidang kriminologi adalah proses-proses dari pembuatan Undang-undang, pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut, dan reaksi-reaksi terhadap pelanggaran Undang-undang tersebut.
Proses-proses tersebut sebenarnya meliputi tiga buah aspek yang terjalin satu sama lain, yakni pembuatan undang-undang, pelanggaran terhadap Merujuk pada tiga aspek tersebut maka Sutherland (1960) menganggap bahwa apa yang dipelajari oleh kriminologi dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian yang terkonsentrasi dalam 3 (tiga) bidang ilmu, yakni:
1. Sosiologi Hukum yang bertugas mencari penjelasan tentang kondisi-kondisi terjadinya/terbentuknya hukum pidana melalui analisis ilmiah. Bidang ilmu ini juga merupakan analisis sosiologis terhadap hukum.
2. Etiologi kriminal yaitu bertugas mencari penjelasan tentang sebab-sebab terjadi kejahatan secara analisis ilmiah. Bidang ilmu ini, sebenarnya, muncul karena berbagai dorongan ketidakpuasan para ahli hukum pidana atas kenyataan bahwa pelanggaran hukum (pidana) masih tetap saja terjadi walaupun hukum (pidana) tersebut telah sedemikian rupa dikembangkan untuk menangkal kejahatan.
Dengan Etiologi Kriminal ini kemudian kita sadari bahwa dalam mempelajari alasan mengapa seseorang melanggar hukum (pidana) atau kejahatan kita harus mempertimbangkannya dari berbagai faktor (multiple factors) tidak lagi hanya melihat faktor hukum atau legalnya saja (single factor).
3. Penologi artinya berarti ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya hukuman, artinya dan manfaatnya berhubungan dengan upaya “control of crime” (pengendalian kejahatan) yang meliputi upaya preventif maupun represif. Penologi bertujuan untuk menjelaskan sejarah perkembangan penghukuman, teori-teori dan masalah korelatif penghukuman, konteks perkembangan penghukuman dan pelaksanaan penghukuman.
sumber: www.sdsmt.edu/.../ is/soc100/criminal.gif.
objek studi kriminologi, menurut Mannheim, tidak saja perbuatan-perbuatan yang oleh penguasa dinyatakan dilarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat (kelompok-kelompok masyarakat) dianggap tidak disukai, meskipun tingkah laku ini tidak dilarang atau belum dilarang oleh hukum pidana. Perubahan ini, di satu sisi, menimbulkan suatu kekaburan mengenai objek kriminologi, tetapi sekurang-kurangnya perubahan ini juga memberikan kepastian bahwa bentuk-bentuk penting dari tingkah laku yang bersifat anti sosial dapat memperoleh perhatian yang cukup seksama dalam kriminologi.
Kejahatan diartikan oleh Bemmelen sebagai setiap kelakuan yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa (penderitaan) terhadap pelaku perbuatan itu (pembalasan).
Dalam pengertian yang diberikannya tentang kejahatan tersebut, Bemmelen juga membahas tentang pemberian hukuman bagi pelaku kejahatan, di mana pada gilirannya masalah penjatuhan hukuman ini juga dicermati melalui bidang ilmu yang kemudian berkembang menjadi Penologi. Pada inisiasi ini kita akan fokus pada pembahasan penologi
Kembali pada pentingnya mempelajari penologi dalam menjelaskan kriminologi, berikut ini akan diberikan contoh uraian dari salah satu aspek yang dipelajari dalam penologi, yakni alasan pembenaran pemberian penghukuman. Penjelasan tentang alasan pembenaran pemberian hukuman didasarkan pada teori tentang penghukuman yang terdiri dari 5 (lima) teori besar yakni:
1. Retribution
2. Utilitarian prevention: deterrence.
3. Special deterrence: intimidation.
4. Behavioral prevention: incapacitation.
5. Behavioral prevention: rehabilitation (uraian lengkap dapat dibaca dalam modul Teori Kriminologi)
Penjelasan yang menyangkut peran dari salah satu bidang ilmu yang dipelajari dalam kriminologi, yakni Penologi yang menjelaskan alasan pembenaran pemberian hukuman sebagai salah satu aspek yang dikaji olehnya, maka kita kembali pada peran kriminologi itu sendiri.
Merujuk pada ruang lingkup kriminologi maka jelaslah bahwa selain luasnya ruang lingkup perhatian para kriminolog, kita juga harus menyadari begitu penting dan mulianya tugas para kriminolog yang antara lain ikut berperan serta secara aktif dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan nasional.
Dibandingkan dengan para dokter, ekonom ataupun para teknokrat, maka peranan kriminolog tidaklah kalah pentingnya dalam rangka pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan. Peran kriminolog tentunya memberikan suatu analisis, penjelasan dan prediksi tentang kehadiran sosok kejahatan yang apabila dibiarkan dan terjadi berlarut-larut dan dapat menggerogoti hasil pembangunan yang telah dicapai.
Sebagai contoh, salah satu indikasi keberhasilan pembangunan adalah banyaknya sarana kepentingan umum/fasilitas umum (fasos) yang berhasil dibangun, seperti jaringan komunikasi (misalnya telepon umum), sarana transportasi umum, penerangan (listrik masuk desa) dan sebagainya. Sarana kepentingan umum atau fasos itu tentunya difungsikan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun apa yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari? Begitu banyak sarana umum umum yang dirusak oleh warga masyarakat yang tidak bertanggung jawab, bahkan baru-baru ini sudah ada yang berani merusak pos polisi.
Perusakan itu pun didasari oleh motivasi yang bervariasi. Ada yang berusaha mengambil keuntungan dari perbuatannya tersebut, ada yang bermotifkan dendam kepada sesuatu hingga pada motif yang tidak jelas, hanya iseng belaka. Apa yang dapat kita kaji dari kejadian tersebut? Tentunya adalah pengrusakan dan penggerogotan hasil pembangunan yang telah dicapai dengan susah payah oleh perbuatan-perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan persoalan ini jika tidak terlebih dahulu mengerti dan mempelajari perbuatan destruktif tersebut dengan segala aspek yang terkait padanya. Disinilah peran kriminolog, yang setelah mempelajari sebab-sebab dilakukannya perbuatan jahat (kejahatan). Kriminolog dapat memberi sumbangan pemikiran, alternatif, dan solusi sehingga perbuatan tersebut dapat dicegah.
Kontribusi itu bukan saja mencegah agar sarana umum yang telah ada tidak dirusak kembali, tetapi secara lebih luas dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang aspek-aspek apa saja yang harus dipertimbangkan apabila pemerintah akan membangun sarana umum yang baru agar terhindar dari kemungkinan perusakan.
Setelah kita membahas tentang ruang lingkup dari kriminologi maka perlu kiranya kita secara lebih rinci membahas pula apa yang menjadi objek studi dari kriminologi itu sendiri. Kriminologi, sebenarnya, mengacu pada penggunaan metode ilmiah di dalam studi dan analisa tentang keteraturan, keseragaman, pola teladan, dan faktor penyebab yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat dan reaksi sosial terhadap kejahatan maupun penjahat (Sellin, 1998). Dalam pengertian ini, kriminologi tidak lagi dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat saja tetapi sudah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari “the world of crime” (dunia kejahatan), atau “the whole aspects of crime” (keseluruhan aspek yang terkait dengan kejahatan). Dalam mempelajari dunia kejahatan maka kriminologi memiliki asumsi dasar yang nmenyatakan: tidak mungkin kejahatan dapat dipelajari tanpa mempelajari aspek-aspek yang terkait dengannya, yakni penjahat dan reaksi sosial terhadap keduanya, baik terhadap kejahatan maupun terhadap penjahat.
Kriminologi tidak lagi dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat saja tetapi sudah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari the world of crime (dunia kejahatan), atau the whole aspects of crime (keseluruhan aspek yang terkait dengan kejahatan). Secara definitif, Kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejatan, penjahat, reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat, serta kedudukan korban kejahatan.
Mempelajari kejahatan berarti mempelajari hal-hal yang terkait dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu di mana perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar hukum (atau melanggar norma-norma tingkah laku sosial lainnya). Mengapa orang-orang tertentu melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan sementara orang-orang lainnya tidak melakukan perbuatan tersebut, adalah suatu hal yang juga harus dijelaskan oleh kriminologi – yang tidak terlepas dari penjelasan tentang kejahatan itu sendiri. Reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat juga merupakan faktor penting dalam penjelasan mengapa kejahatan dapat terjadi di masyarakat dan dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Kita ambil contoh, pencurian misalnya. Secara sederhana kita tahu bahwa pencurian adalah suatu perbuatan melanggar hukum (pidana dan norma-norma tingkah laku sosial) yakni mengambil barang milik orang lain tanpa seijin atau sepengetahuan pemiliknya. Terhadap perbuatan tersebut masyarakat akan memberikan sanksi negatif. Lalu bagaimana dengan pencurian oleh seorang anak terhadap uang milik ibunya? Anak yang bersangkutan bisa saja merasa bahwa dia tidak bersalah pada waktu mengambil uang milik ibunya yang tergeletak di atas meja di mana uang itu digunakan untuk membayar taksi ataupun untuk bekal dia pergi dengan pacarnya. Ia mungkin menganggap bahwa perbuatannya adalah sesuatu hal yang wajar dan akan dia ceritakan kepada ibunya esok harinya.
Namun apapun alasannya, anak tadi telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (hukum pidana). Lalu bagaimana reaksi ibunya pada waktu dia mengetahui bahwa uangnya telah diambil oleh anaknya tanpa meminta ijin terlebih dahulu? Apakah ibu tersebut tahu bahwa perbuatan anaknya adalah mencuri? Bagaimanakah reaksi ibu tersebut terhadap pencurian? Katakanlah ibu tersebut sangat membenci perbuatan mencuri, tetapi bagaimana reaksi ibu tersebut pada waktu mengetahui bahwa yang mencuri uangnya adalah anaknya sendiri? Ibu tersebut memang benci dengan pencurian tetapi dia tidak melakukan reaksi apa-apa terhadap pencurinya yang dalam hal ini adalah anak kandungnya sendiri.
Apa yang bisa anda simpulkan dari contoh kasus atau ilustrasi tersebut? Reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat ternyata seringkali tidak konsisten. Sebenarnya, reaksi terhadap kejahatan akan senada dengan reaksi terhadap penjahat. Kondisi reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat juga dapat mempengaruhi kejahatan dan penjahat itu sendiri. Karena tidak diberikan reaksi yang negatif, besar kemungkinan si anak akan mengulang kembali perbuatannya dan kejahatan akan dengan mudah terjadi.
Sumber: www.villasemana.com/ events/biking/cockfight2.jpg
Sabung Ayam di Bali. Bagian dari budaya masyarakat Bali. Inti dari budaya sabung ayam di Bali. adalah pengorbanan pada kekuatan jahat Bhuta dan Kala untuk menghindari kemarahannya. Jika dihadapkan dengan Hukum Nasional maka perilaku budaya ini menjadi suatu pelanggaran hukum.
Kini kita ambil contoh yang lain. Di suatu desa di salah satu pulau di Indonesia, sebut saja desa Murbai, marak terjadi judi sabung ayam. Orang tidak segan-segan untuk melakukan judi sabung ayam tersebut. Anehnya, di desa sebelahnya segala perbuatan judi sangat dibenci oleh penduduknya. Sebenarnya pula orang desa Murbai juga tidak mendukung segala perjudian, namun judi ini tetap berlangsung karena judi sabung ayam tersebut dikoordinir oleh aparat desa di mana sebagian pendapatan pemilik arena sabung ayam tadi diserahkan ke kas desa untuk biaya pembangunan desa secara swadana.
Dalam ilustrasi ini tampak bahwa penduduk desa tadi tidak konsisten dalam melakukan reaksi terhadap kejahatan dan penjahat. Mereka tidak suka judi tetapi judi sabung ayam tetap didukung karena dianggap bermanfaat bagi pembangunan desa. Mereka juga tidak memberikan sanksi negatif bagi pelakunya yang pada umumnya adalah orang desa tersebut. Sekali lagi, bahwa reaksi sosial, baik terhadap kejahatan maupun penjahat, dapat berpengaruh bagi eksistensi kejahatan itu sendiri.
Teori kriminologi
Inisiasi 2
Arti dan Status Penjahat
Setelah mengetahui beberapa konsep mengenai kejahatan, maka timbul persoalan siapakah yang dimaksudkan dengan penjahat (criminal) itu? Pengetahuan kita mengenai penjahat/si pelaku (pelanggar) pidana ini, kebanyakan adalah hanya mengenai mereka yang ada dalam penjara-penjara (si terpidana). Dan memang secara yuridis, maka yang dapat kita namakan penjahat adalah mereka yang telah melanggar aturan-aturan pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Elliot (1952) dan Sutherland (1960), berpendapat bahwa penjahat adalah seseorang yang telah melanggar undang-undang, seseorang yang telah melakukan kejahatan.Sumber: Walker, Samuel., 1994. Sense and Non Sense About Crime and Drugs, A Policy Guide, Third Edition, California :Wadsworth Publishing Company.
Merujuk pada pendapat Sutherland dan Elliot di atas maka batasan penjahat dari aspek hukum atau segi yuridis hanya mengantarkan kita pada status formal seseorang yang dapat dinyatakan sebagai penjahat.
Penjahat, dengan demikian, adalah orang-orang yang melanggar undang-undang atau hukum pidana, tertangkap tangan, dituntut, dibuktikan kesalahannya di muka pengadilan, serta dinyatakan bersalah dan dihukum (sebagian berada di penjara atau Lembaga Pemasyarakatan). Sutherland (1961) mengakui pentingnya putusan pengadilan, tetapi menurut pendapatnya, untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, kita tidak perlu terlalu terikat pada putusan-putusan pengadilan. Cukup bilamana kita mengetahui bahwa suatu perbuatan adalah kejahatan dan bahwa ada seseorang yang telah melakukan perbuatan tersebut. Si pelaku inilah jang merupakan penjahat, mungkin ia tertangkap mungkin ia tidak, mungkin ia diketahui mungkin pula tidak. Suatu masalah yang sukar dijawab adalah berapa lama seseorang itu dapat dinamakan penjahat. Sebenarnyalah bahwa pertanyaan seperti itu mudah dijawab, yaitu selama orang yang bersangkutan menjalani hukuman atau pidananya. Mengapa demikian? Secara singkat kita dapat menjawab karena penjahat adalah terhukum. Jadi setelah ia bebas dari hukumannya, secara yuridis, ia bukan penjahat lagi.
Dalam mencari jawaban tentang sosok penjahat, seringkali orang tidak puas jika tidak membuat semacam profil penjahat. Mungkin sekali bahwa dengan mengetahui profil atau karakteristik penjahat, masyarakat akan memperoleh jawaban yang lebih rinci dan konkret siapa orang-orang yang disebut sebagai penjahat.
Batasan dan Ciri-ciri Penjahat
Beberapa ahli kriminologi memberi batasan mengenai istilah penjahat ini dengan merujuk pada mereka yang memenuhi ciri-ciri tertentu yaitu seorang pelanggar hukum yang mempunyai keahlian-keahlian, sikap-sikap dan hubungan-hubungan sosial yang menunjukkan kematangan dalam kebudayaan penjahat. Bagaimana cara yang termudah menemui penjahat tersebut, atau dengan kata lain dimanakah kita dapat menemui orang-orang yang dinamakan penjahat? Jawaban yang tepat, adalah di dalam penjara atau di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Elliot (1952), menyatakan bahwa pengetahuan kita mengenai penjahat, atau tepatnya terpidana, sebenarnya merupakan pengetahuan mengenai tipe penjahat yang kurang ahli (less skillful type). Penjahat yang demikian ini adalah mereka yang tidak cukup pandai untuk melepaskan diri dari kejaran polisi. Akan tetapi meskipun demikian para terpidana itu sebenarnya cukup mencerminkan lapisan-lapisan/tipe (penjahat) di dalam masyarakat.
Sebagian terpidana adalah mereka yang benar-benar jahat (viccious). Orang-orang ini berwatak keras yang akan menembak dan membunuh apabila mereka merasa perlu melakukannya. Sebagian besar dari para terpidana tersebut adalah orang-orang yang lemah yang tidak sanggup menyesuaikan diri dalam mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan dalam masyarakat yang sangat kompetitif. Sebagian kecil dari terpidana tersebut adalah bukan orang-orang lemah maupun orang-orang yang bermusuhan dengan masyarakat, mereka kadang-kadang sama terkejut dan mendongkolnya seperti teman-teman dan kenalan-kenalan mereka, bahwa mereka adalah pelanggar-pelanggar undang-undang. Orang-orang ini adalah mereka yang dalam keadaan krisis gagal mengikuti aturan-aturan negara, yang sebenarnya aturan itu mereka hormati juga.
Dikatakan pula oleh Elliot (1952), bahwa seperti ucapan Socrates di mana semua orang adalah pembohong, maka dapat pula dikatakan bahwa semua orang adalah penjahat. Apa sebab? Oleh karena menurut Elliot, hampir semua orang yang telah mencapai usia dewasa, pada suatu waktu mungkin telah melakukan suatu pelanggaran di mana ia sebenarnya dapat menerima pidana atas pelangaran yang dilakukannya itu, misalnya membeli karcis bioskop catutan, mencuri buah-buahan dari kebun orang lain, memberi ‘hadiah’ (tepatnya menyuap) pada seorang pegawai negeri, atau kepada seorang polisi lalu lintas; sampai kepada hal atau kasus yang berat seperti: perkosaan yang tidak dilaporkan karena akan menimbulkan malu bagi si korban, anak mencuri dari orang tuanya, wanita yang memeras seorang pria, penggelapan, korupsi, dan lain-lain.
Banyak percobaan telah dilakukan untuk menentukan ciri-ciri atau sebab musabab seseorang melanggar aturan/hukum. Ada yang mengatakan bahwa intelijensi si pelaku yang menyebabkan ia melakukan pelanggaran. Jadi pelanggaran hukum yang dilakukan si penjahat disebabkan karena intelijensi mereka yang kurang atau rendah untuk mengikuti/mematuhi permintaan-permintaan/ketentuan-ketentuan masyarakat. Pandangan yang lain, menghubungkan dengan (tingkat) pendidikan, yaitu bahwa penjahat datang dari golongan-golongan masyarakat yang berpendidikan rendah kurang atau buta huruf. Akan tetapi baik berdasarkan penelitian-penelitian maupun berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas yaitu bahwa setiap orang dapat dikatakan sebagai pelanggar pidana, maka ciri-ciri mengenai si pelanggar hukum ini tidak dapat diterima. Ciri-ciri tersebut mungkin hanya berlaku untuk sebagian kecil penjahat, yaitu penjahat yang tertangkap atau si terpidana.
Penjahat dalam konteks yang luas tidak hanya mereka yang telah melanggar undang-undang, akan tetapi juga mereka yang bersikap anti sosial
Elliot (1952), kemudian mengemukakan bahwa tidaklah cukup hanya menentukan bahwa penjahat adalah mereka yang dipidana, bahwa mereka telah melanggar undang-undang. Perlu ditambahkan suatu ciri-ciri yang khas lain yaitu bahwa penjahat ini adalah mereka yang tidak mau mengakui nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Banyak orang, walaupun berada di luar penjara, tetapi mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya sifat egoistik, yang hanya mementingkan diri sendiri. Falsafah mereka adalah “Apakah keuntungannya untuk saya?”
Orang seperti ini pada dasarnya memang anti-sosial. Menurut Elliot (1952), orang-orang seperti inilah yang merupakan “penjahat” yang tidak terhukum, sedangkan para residivis yang tidak tertangkap adalah penjahat yang sebenarnya. Sebab orang-orang seperti ini yang telah mengatur hidupnya tanpa mengindahkan nilai-nilai sosial.
Dihubungkan dengan keberhasilan usaha pemasyarakatan, maka tentunya upaya pemasyarakatan itu harus bertujuan merubah nilai-nilai yang sesat tadi. Perlu diperhatikan pula mengenai penjahat-penjahat yang terpidana, yaitu bahwa mereka umumnya melanggar satu atau dua aturan hukum saja. Sedang pada umumnya mereka adalah orang-orang yang taat pada hukum.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu bahwa penjahat-penjahat terpidana, hanya merupakan sebagian kecil saja dari keseluruhan penjahat yang ada. Hanya sebagian kecil yang tertangkap, sebagian kecil dari mereka dituntut, sebagian kecil lagi dipidana. Statistik penjara, pada kenyataannya, hanya menunjukkan sekelompok kecil dari (keseluruhan) penjahat.
Klasifikasi PenjahatUntuk menyusun klasifikasi pelaku kejahatan maka ada beberapa aspek yang dapat kita gunakan, yakni:
1. Menurut status sosial pelaku kejahatanDitinjau dari aspek status sosial pelaku kejahatan maka kita akan memperoleh klasifikasi penjahat menurut kelas sosialnya, antara lain sebagai berikut:
a) White Collar Criminal atau Elite Criminal, yaitu pelaku kejahatan yang tergolong mempunyai status sosial tinggi dan kedudukan terhormat dalam suatu masyarakat. Pada umumnya mereka melakukan kejahatannya dalam rangka pelaksanaan pekerjaannya. Mereka ini antara lain para pejabat, para pengusaha, para cendikiawan ataupun para ahli dalam berbagai bidang pekerjaan. Para pelaku kejahatan yang mempunyai status sosial yang tinggi ini juga dinamakan the upper class criminal atau penjahat tingkat atas. Praktek atau kejahatan yang mereka lakukan biasanya berupa penyalahgunaan jabatan atau wewenang, penyalahgunaan kedudukan dan profesi, atau penyalahgunaan keahlian, dan sebagainya.
b) Lower-class Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang tidak mempunyai status sosial tinggi di masyarakat. Pada umumnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh mereka adalah yang terkait dengan motif ekonomi. Lower-class criminal ini biasanya meliputi kejahatan jalanan (street crimes), seperti pencopetan, perampasan, penodongan, penjambretan, penganiayaan, dan sebagainya. Kejahatan juga biasanya termasuk jenis kejahatan yang tidak direncanakan atau bersifat spontan. Karena sifatnya yang spontan itu, bisa saja penjahat jalanan ini melakukan hal-hal diluar perkiraan, seperti menusuk korbannya, bahkan juga dapat membunuh korbannya.
Sumber: Walker, Samuel. 1994, Sense and Non Sense About Crime and Drugs, A Policy Guide, Third Edition, California: Wadsworth Publishing Company.Menurut Tingkat Kerapihan OrganisasiDitinjau dari sudut terorganisir atau tidaknya pelaku kejahatan dalam melakukan aktivitas kejahatannya, maka akan diperoleh klasifikasi sebagai berikut :
a) Organized Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan terorganisasi. Mereka melakukan tindak kejahatannya dengan menggunakan dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen, seperti adanya perencanaan, koordinasi, pengarahan, dan pengawasan yang dikendalikan oleh kelompok mereka.
b) Non-Organized Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang dalam aktivitasnya bersifat individual dan tidak terorganisasi.
Menurut Kepentingan Pencarian NafkahDitinjau dari sudut atau kepentingan mata pencahariannya, maka dapat diperoleh klasifikasi yang merujuk kepada:
a) Professional Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang telah menjadikan kejahatan sebagai profesinya, sebagai mata pencaharian pokoknya.
b) Non-Professional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan secara insidental saja. Dengan kata lain, mereka melakukan kejahatan tidak sebagai mata pencaharian tetapi hanya didorong oleh situasi dan kondisi tertentu pada suatu waktu, tempat, dan keadaan tertentu.
Menurut Aspek Kejiwaan Dari Pelaku KejahatanDitinjau dari aspek kejiwaan pelaku kejahatan maka akan diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a) Episodic Criminals, yakni pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya sebagai akibat dorongan perasaan/emosi yang mendadak tak terkendali. Misalnya, seorang ayah yang membunuh seorang laki-laki sewaktu ia melihat perempuannya diperkosa oleh laki-laki tersebut.
b) Mentally Abnormal Criminals, yakni pelaku kejahatan yang jiwanya abnormal, misalnya orang yang psikopatis.
c) Non Malicious Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan karena menurut keyakinan mereka perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan. Misalnya seorang pengikut aliran sesat dari kepercayaan tertentu yang melakukan hubungan seks bebas sesama anggota aliran itu karena mereka percaya bahwa mereka harus saling mengasihi meskipun tidak terikat oleh perkawinan.
Menurut Aspek Kebiasaan Dilakukannya KejahatanDitinjau dari segi kebiasaan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan maka dapat diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a) Habitual Criminals, yakni orang yang melakukan kejahatan, baik dalam arti yuridis maupun dalam arti kriminologis, secara terusmenerus sebagai kebiasaan. Misalnya seorang pelacur, pemabok, penjudi, dan sebagainya.
b) Non-Habitual Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan bukan karena kebiasaannya tetapi ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu.
Menurut Aspek Tertentu Dari Sifat PerbuatannyaDitinjau dari beberapa aspek yang terkait dengan sifat perbuatan jahat yang dilakukan oleh pelaku atau penjahat maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a) Casual Offenders, yakni orang-orang yang melanggar ketertiban masyarakat. Misalnya orang yang melanggar jam malam, mengadakan pesta tanpa ijin dan sebagainya. Sebenarnya perbuatan-perbuatan semacam ini ditinjau dari sudut yuridis bukanlah termasuk sebagai kejahatan.
b) Occasional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan ringan. Misalnya, mengendarai kendaraan bermotor dan menabrak orang yang mengakibatkan luka ringan, atau melanggar lampu lalu lintas.
c) Smuggler, yaitu penyelundup. Penyelundup ialah orang yang memasukkan atau mengeluarkan sesuatu (biasanya barang, tetapi dapat juga orang/manusia) dari atau ke luar negeri tanpa ijin dari pemerintah/yang berwajib (illegal importer dan Illegal exporter).
Menurut Umur Dari Pelaku KejahatanDitinjau dari segi umur pelaku kejahatan maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a) Adult Offenders atau Adult Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang berdasarkan ketentuan hukum dari suatu masyarakat termasuk golongan orang-orang yang telah dikategorikan sebagai orang dewasa.
b) Juvenile Delinquent atau Juvenile Offenders, yakni para pelaku yang melakukan kejahatan atau perbuatan-perbuatan anti sosial lainnya yang berdasarkan ketentuan hukum dari suatu masyarakat termasuk golongan anak-anak atau remaja.
Ukuran orang yang dianggap dewasa atau masih tergolong anak-anak dan atau remaja dalam aturan hukum di berbagai negara tidaklah sama. Di Indonesia, ukuran usia atau umur pelaku kejahatan diatur pada Pasal 45 KUHP yang menyatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Sedangkan mereka yang telah berumur 17 ke atas dikategorikan sebagai orang dewasa, sehingga apabila orang yang dikategorikan sebagai orang dewasa ini melakukan pelanggaran hukum, maka sanksi yang akan diberikan itu didasarkan pada hukum atau ketentuan untuk orang dewasa.
Teori kriminologi
Inisiasi 3
Inisiasi 3 ini disadur dari Modul 3 Teori Kriminologi (SOSI4302)
Risiko Viktimisasi dari Aspek Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Korban
Berikut ini akan disajikan contoh kasus yang dapat memperkuat pemahaman tentang risiko viktimisasi sehingga lebih memperjelas lagi kedudukan korban dalam konteks terjadinya kejahatan. Contoh kasus yang akan disajikan adalah kasus perdagangan anak untuk prostitusi
Kejahatan yang terjadi terhadap anak tidak lagi hanya dalam kerangka domestic violence, melainkan juga terjadi di luar lingkup keluarga yaitu eksploitasi anak untuk kepentingan-kepentingan bisnis dan dan komoditas seksual dalam perdagangan anak. Menurut Suyanto (2001), perdagangan anak (Child Trafficking) merupakan:
“.... suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja --mulai dari perekrutan melalui bujukan dan tipuan, paksaan dan ancaman, atau kekerasan, dan bahkan penyalahgunaan kekuasaan terhadap anak-anak-- untuk kemudian dikirim ke suatu tempat guna dipekerjakan paksa, kompensasi untuk membayar hutang, kepentingan perbudakan, termasuk untuk dilacurkan”
Bentuk perdagangan anak yang sejauh ini dikenali di Indonesia adalah perdagangan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumahtangga, pengemis, serta untuk dijadikan pekerja jermal (lepas pantai) seperti yang terjadi di Sumatera Utara, termasuk perdagangan anak untuk tujuan prostitusi.
Dari berbagai kasus perdagangan anak yang diberitakan di media massa, terutama adalah kasus-kasus perdagangan anak untuk tujuan prositusi. Perdagangan anak untuk tujuan prostitusi adalah mengeksploitasi anak dengan menjadikannya sebagai pekerja seks dalam bisnis pelacuran. Akhir-akhir ini terjadi kecenderungan peningkatan jumlah anak-anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks. Seperti yang diungkapkan oleh Kalyanamitra, sebuah LSM pemberdayaan perempuan, bahwa 30% dari total pekerja seks di Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun (Lihat Kompas, 19 Nopember 2002).
Menurut IPEC, sebuah organisasi di bawah ILO, jumlah total pekerja seks di Indonesia diperkirakan mencapai 650.000 orang (Media Indonesia, 19 Maret 2002), berarti sekitar 195.000 anak-anak perempuan di Indonesia dipekerjakan sebagai pekerja seks. Anak-anak perempuan ini ‘dipasarkan’ ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Selain itu ILO-IPEC juga mencatat tempat-tempat tujuan perdagangan anak ini adalah Batam, Bali dan Medan. Bahkan perdagangan anak ini juga dilakukan lintas negara seperti Taiwan, Singapura, Hongkong, Brunei dan lain-lain (Kompas, 10 Oktober 2001). Sumber pasokan dalam perdagangan anak lintas negara ini disinyalir paling banyak berasal dari Indonesia (Suara Pembaruan, 30 Mei 2001).
Adanya perdagangan anak untuk prostitusi ini menunjukkan bahwa anak-anak sangat berisiko mengalami eksploitasi seksual. Sebuah lembaga advokasi anak internasional mendapatkan bahwa anak-anak yang berisiko terlibat dalam perdagangan anak untuk prostitusi adalah anak-anak yang telah menjadi korban penyiksaan sebelumnya, anak-anak yang ditelantarkan, anak yang kehilangan keluarganya, anak-anak yang melarikan diri dari rumah dan anak-anak yang keluarganya tidak mampu memberikan perlindungan kepada mereka. Risiko juga dihadapi oleh anak-anak yang tinggal di dekat daerah-daerah tujuan wisata dan pangkalan militer serta anak-anak yang tidak memiliki status legal yang jelas (Booklet No. 3 in A Series on International Youth Issues, “Commercial Sexual Exploitation of Children: Youth Involved in Prostitution, Pornography & Sex Trafficking”, Youth Advocate Program International).
Perdagangan anak untuk prositusi adalah bentuk viktimisasi terhadap anak oleh orang dewasa. Data mengenai besarnya jumlah anak-anak yang diperdagangkan untuk prostitusi di Indonesia mengindikasikan bahwa anak-anak Indonesia amat rentan terhadap viktimisasi dan eksploitasi dari orang dewasa. Gambaran mengenai perdagangan anak untuk prostitusi diilustrasikan melalui kasus-kasus yang diungkap media massa, yang ringkasannya sebagai berikut.
Ringkasan Kasus.
Kasus 1: Gadis Belia Dijual ke Batam (Suara Pembaruan, 28 April 2001)Di Jakarta, seorang gadis berusia 17 tahun dijual oleh pacarnya kepada suatu sindikat perdagangan anak untuk dikirim ke pulau Batam. Pelaku (pacar korban) berpura-pura akan menikahi korban sehingga orangtua korban tidak menaruh curiga terhadap pelaku. Korban diajak ke Bandara Soekarno Hatta dan dijual kepada seseorang seharga Rp 2 juta dan akan dipekerjakan di sebuah diskotik di Batam. Korban langsung dibawa ke Batam dengan tiket pesawat yang telah disiapkan sebelumnya. Korban berhasil menghubungi orangtuanya di Jakarta setelah tiba di Batam sehingga kasus perdagangan ini dapat dibongkar oleh polisi.
Kasus 2: Teganya Menjual Anak Sendiri (Kompas, 26 Nopember 2001)
Di Semarang, polisi membongkar perdagangan anak perempuan di bawah umur untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks. Pelakunya dua orang wanita, masing-masing berperan sebagai pemasok dan perantara yang mencari ‘konsumen’ yang akan membeli anak-anak perempuan yang mereka jual. Seorang pelaku yang berperan sebagai pemasok bahkan menjual dua orang anaknya sendiri kepada para pelanggannya. Penjualan anak perempuan untuk kepentingan seksual ini dilakukan karena pelaku terdesak oleh kebutuhan ekonomi untuk menghidupi keluarganya. Pelaku menjual anaknya yang berumur 15 tahun melalui perantara (pelaku lainnya) seharga Rp 5 juta di sebuah hotel di Temanggung. Sementara anaknya yang masih berumur 14 tahun dijual di Mangga Besar, Jakarta seharga Rp 1,5 juta.
Kasus 3: Penampungan ABG Diserbu Massa (Warta Kota, 19 Oktober 2001)
Sebuah tempat penampungan TKW di Jati Asih, Bekasi diserbu massa karena dicurigai akan mempekerjakan TKW sebagai pemain film porno dan pekerja seks. Dalam penyerbuan didapati sekitar 100 anak perempuan berusia antara 15-17 tahun di dalam tempat penampungan TKW milik sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja.
Kasus 4: Polisi Bongkar Sindikat Perdagangan Wanita Muda (Kompas, 27 September 2001)
Kepolisian Sektor Metro Penjaringan, Jakarta Utara membongkar suatu sindikat yang memperdagangkan wanita muda. Polisi menangkap tiga orang pelaku dan mengamankan 17 orang wanita yang menjadi korbannya. Para korban berusia antara 15 sampai 24 tahun. Korban dibujuk oleh para pelaku untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dan diberikan tempat tinggal. Korban kemudian dibawa ke sebuah yayasan penyalur pembantu rumahtangga di Mangga Besar. Namun keesokan harinya korban dipekerjakan di sebuah bar di Penjaringan untuk melayani lelaki hidung belang. Pemilik bar membeli korban dari pengelola yayasan penyalur pembantu rumahtangga antara Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu.
Korban mendesak minta dipulangkan kepada pemilik bar, namun tidak dipenuhi karena korban harus mengganti uang pembelian atas dirinya dari pengelola yayasan dan mempunyai hutang pakaian yang dikenakannya. Setelah korban menandatangani surat perjanjian untuk bekerja sebagai wanita penghibur korban dipaksa melayani tamu yang datang tarif Rp 50.000. Uang tersebut dipotong setengahnya untuk pemilik bar dan sisanya menjadi hak korban, namun baru dapat diambil dua bulan sekali. Korban melarikan diri dan melaporkan kasus tersbut kepada polisi.
Demikianlah, terjadinya perdagangan anak (Child Trafficking) untuk kepentingan prostitusi tidak terlepas dari adanya bisnis pelacuran wanita dewasa. Anak-anak perempuan dijadikan sebagai obyek komoditas (perdagangan) dari seseorang atau kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna meraih keuntungan ekonomi berlipat ganda. Layaknya dalam perdagangan lainnya, gejala perdagangan anak ini dapat dipahami dengan mengadopsi pemikiran tentang adanya mekanisme pasar dalam perdagangan anak untuk prostitusi. Secara umum, berjalannya perdagangan anak untuk prostitusi memenuhi mekanisme pasar, yaitu adanya kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) terhadap pekerja seks anak dalam bisnis pelacuran. Adanya perdagangan anak ini terkait dengan kebutuhan industri pariwisata dan hiburan serta para pelaku yang memang menyukai anak-anak untuk obyek seksualitas mereka.
Dari ketiga ilustrasi kasus di atas dapat ditemukan beberapa unsur penting dalam perdagangan anak, yaitu rekrutmen, pengangkutan/transportasi, lintas batas, dan paksaan serta eksploitasi terhadap anak. Perdagangan anak ini tidak terlepas dari adanya jaringan pemasok yang menyediakan anak-anak sebagai komoditas prostitusi. Anak-anak perempuan direkrut dengan berbagai cara termasuk dengan cara menipu, melalui bujukan, bahkan dengan ancaman dan paksaan serta penculikan. Kasus pertama misalnya menunjukkan usaha penipuan yang dilakukan oleh jaringan perdagangan anak terhadap korbannya. Di mana korban mempunyai hubungan dekat dengan pelakunya dan menaruh kepercayaan terhadap pelaku. Kedekatan dan kepercayaan korban digunakan oleh pelakunya untuk mengelabui korban sehingga korban dijual kepada pelaku lainnya.
Pada kasus 4, para korban direkrut menggunakan calo-calo yang beroperasi di terminal atau stasiun kereta. Mereka membujuk korbannya dengan dalih akan dipekerjakan sebagai pembantu rumahtangga dan kemudian korban dibawa ke yayasan penyalur pembantu rumahtangga. Namun korban ternyata dijual kepada yayasan dan dijual lagi kepada pemilik bar untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks. Demikian juga pada kasus 3, para korban direkrut dengan penipuan yang berkedok perusahaan penyalur tenaga kerja. Mereka direkrut untuk dipekerjakan di luar negeri sebagai buruh atau pembantu rumahtangga. Namun dalam tempat penampungan mereka disosialisasikan untuk menjadi pekerja seks. Sementara itu cara perekrutan pada kasus 2, korban oleh orangtuanya melalui perantara untuk dijadikan pekerja seks. Dalam hal ini korban sengaja dikorbankan oleh orangtuanya untuk membela kepentingan ekonomi keluarganya.
Selanjutnya anak-anak yang berhasil direkrut ini dikirim ke berbagai tempat tujuan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di tempat tersebut mereka dipekerjakan di diskotik, bar, atau tempat-tempat pelacuran. Tidak jarang banyak di antara mereka yang dikirimkan ke luar negeri untuk dijadikan pelacur cilik. Kasus 1 dan 2 menunjukkan bahwa para korban dikirim secara lintas provinsi yang jauh dari tempat tinggalnya. Sedangkan pada kasus 3, mengingat para korban ditampung oleh jaringan yang berkedok sebagai perusahaan pengerah tenaga kerja, kemungkinan besar akan dipekerjakan sebagai pekerja seks dan pemain film porno di luar negeri.
Ketika sampai ke tangan mucikari, anak-anak korban perdagangan anak ini dipaksa bekerja sebagai pekerja seks. Mereka dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan yang besar bagi mucikarinya. Mereka sulit melepaskan diri karena diancam akan dibunuh atau ditakut-takuti oleh para mucikari.
Viktimisasi dapat dirumuskan sebagai suatu penimbulan penderitaan (mental, fisik, dan sosial) pihak-pihak tertentu oleh pihak tertentu dan demi kepentingan tertentu (Gosita, 1988). Dalam perdagangan anak, anak-anak yang diperdagangkan mengalami penderitaan mental, fisik, dan sosial. Hal ini terjadi antara lain karena anak-anak dalam posisi yang lemah dan rawan sehingga tidak dapat menolak saat dijebak ke dalam perdagangan anak.
Keterlibatan anak-anak dalam jaringan perdagangan anak untuk prostitusi karena berbagai alasan, misalnya untuk alasan-alasan economic survival. Seperti yang diilustrasikan dalam kasus 2, di mana anak-anak yang dijual oleh orangtuanya sendiri secara sadar dan diperdagangkan untuk tujuan prostitusi. Mereka secara sadar masuk dalam dunia prostitusi karena didorong oleh kebutuhan ekonomi keluarga. Kondisi ini tidak terlepas dari terbatasnya lapangan kerja yang dapat menjadi pilihan bagi anak-anak untuk membantu perekonomian keluarga.
Anak yang menjadi korban karena terlibat dalam perdagangan anak untuk prostitusi dapat dikatakan telah mengalami viktimisasi struktural. Yaitu, suatu viktimisasi (mental, fisik, dan sosial) yang diakibatkan oleh ada dan tidaknya unsur-unsur sosial tertentu serta pelaksanaannya (Gosita, 1988). Alasan economic survival, dalam hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan dalam struktur masyarakat di mana kesempatan kerja tidak diperoleh semua orang secara merata. Ketimpangan ini menyebabkan penghasilan yang diperoleh tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Pada akhirnya anak terpaksa harus memberikan kontribusi pada penghasilan keluarga. Anak-anak tersebut sejak dini sudah harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Di antaranya ada yang terjebak menjadi pekerja seks melalui perdagangan anak, baik yang dilakukan secara sukarela maupun dengan terpaksa karena penipuan, paksaan, ancaman, atau bujukan.
Dalam perdagangan anak untuk prostitusi, anak-anak yang menjadi korbannya, selanjutnya mengalami viktimisasi berupa pengeksploitasian saat menjadi pekerja seks. Sulit sekali bagi mereka untuk keluar dari jeratan perdagangan anak karena mereka secara fisik lebih lemah atau merasa takut secara psikologis terhadap para pelaku yang mayoritas orang dewasa. Hal ini menjadikan mereka tidak mampu melakukan perlawanan atau mencegah kejahatan sehingga membuat mereka mudah menjadi sasaran kejahatan.
Bagi pelaku perdagangan anak (supplier), mempekerjakan anak-anak dipandang sangat menguntungkan karena anak-anak lebih mudah diperdaya dan juga tidak perlu dibayar mahal dibandingkan jika mempekerjakan perempuan dewasa. Sedangkan bagi konsumennya, anak-anak lebih aman karena dipandang bebas dari penyakit kelamin. Namun anak-anak yang diperdagangkan dalam bisnis prostitusi sangat rentan mengalami kekerasan baik dari para supplier-nya maupun dari para konsumen mereka. Selain risiko kehamilan di usia muda, mereka juga sangat rentan tertular penyakit kelamin dan AIDS sehingga viktimisasi yang mereka alami akan terus berkelanjutan.
Sementara itu upaya penanganan terhadap masalah perdagangan anak belum memadai baik dari sisi aturan hukum maupun penegakan hukumnya. Aturan hukum yang berkaitan dengan masalah perdagangan anak terutama adalah KUHP Pasal 297 yang melarang perdagangan anak perempuan dan laki-laki di bawah umur. Selain itu ada juga Pasal 290 (3e) yang melarang tindakan membujuk anak di bawah umur 15 tahun untuk melakukan perbuatan cabul atau berhubungan seksual dengan orang lain. Selanjutnya Pasal 293 (1) melarang perbuatan cabul terhadap orang yang belum dewasa dengan membujuk, menawarkan balas jasa berupa uang atau lainnya, atau menggunakan pengaruh dari hubungan yang ada dengan korban, atau dengan penipuan. Dari aturan-aturan hukum pidana tersebut tidak ada aturan yang secara spesifik melarang perdagangan anak untuk prostitusi.
Kondisi tersebut diperparah lagi karena banyak faktor yang menyebabkan kasus-kasus perdagangan anak untuk prostitusi sangat sulit diungkap. Perdagangan anak untuk prostitusi termasuk sebagai salah satu kegiatan shadow economy (ekonomi bayangan) yang tergolong ilegal. Hal ini menyebabkan aktivitas perdagangan anak untuk prostitusi dikelola secara tertutup. Anak-anak yang menjadi korban aktivitas ini sulit keluar karena perangkap hutang ataupun karena ancaman kekerasan dari para pengelolanya. Hal ini membuat kasus-kasus perdagangan anak tidak mudah terungkap karena korban tidak dapat diketahui dan senantiasa dalam penjagaan pengelolanya. Masih dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi bayangan, penanganan yang dilakukan oleh polisi cenderung bersifat reaktif. Artinya polisi hanya akan bertindak jika ada korban yang melaporkan kasusnya kepada polisi.
Anak-anak yang terlibat dalam perdagangan anak untuk prostitusi merupakan korban dari tindakan child abuse. Namun masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap mereka, karena pada kenyataannya mereka adalah pelacur. Respon masyarakat akan berbeda misalnya terhadap anak-anak yang menjadi korban perkosaan. Hal ini membuat anak-anak yang diperdagangkan untuk prostitusi mengalami viktimisasi lainnya, yaitu stigma dari masyarakat. Adanya stigmatisasi tersebut membuat anak menjadi tertutup dan sulit berbicara dengan orang lain, sehingga pengungkapan kasusnya juga menjadi lebih sulit dilakukan.
Teori kriminologi
Inisiasi 4
Inisiasi ke 4 ini disadur dari Modul 4 Teori Kriminologi (SOSI4302)
Pencegahan Kejahatan Sebagai Usaha Pengamanan Masyarakat
Pada modul terdahulu Anda telah mempelajari betapa kompleknya permasalahan kejahatan. Timbulnya kejahatan tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor psikologis penjahatnya akan tetapi juga faktor-faktor sosial dari penjahat tersebut. Kejahatan sebagai sebuah tindakan yang dianggap asosial merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tatanan sosial yang berlaku. Karena sifatnya yang asosial itu mengakibatkan timbulnya berbagai reaksi dari masyarakat atas terjadinya kejahatan. Ada berbagai macam reaksi sosial yang timbul terhadap kejahatan maupun penjahatnya.
Para pakar Kriminologi pada zaman dahulu mengartikan pengamanan masyarakat (social defense) secara sempit, yaitu bahwa pengamanan masyarakat merupakan usaha secara legal untuk melindungi masyarakat dari gangguan kejahatan yang diwujudkan dengan memberikan hukuman terhadap pelanggar hukum. Pemberian hukuman ini juga dikenal sebagai penal policy.
Ancel (1954), seorang kriminolog dan juga seorang hakim di Perancis, menegaskan bahwa dalam menjelaskan pengamanan masyarakat (social defense) tidaklah mudah karena ada bermacam pengertian, bahkan sering kali berbeda dan bertentangan. Namun yang terpenting, menurutnya, setiap usaha dalam menjelaskan konsep itu, sebenarnya sudah mencakup suatu konsep dasar yaitu perlindungan terhadap masyarakat. Lebih jauh lagi, Ancel (1954) mengatakan bahwa social defense atau pengamanan masyarakat merupakan perlindungan terhadap masyarakat dari gangguan kejahatan dan harus diwujudkan dengan penindakan secara mantap, secara sungguh-sungguh, terhadap tindak kejahatan tersebut. Dari pengertian itu tersirat suatu makna bahwa ada kebutuhan yang utama mengenai terselenggaranya keamanan masyarakat, yang terwujud dalam pentingnya penindakan yang tegas terhadap para pelanggar hukum melalui pemberian hukuman pidana.
Secara langsung atau tidak langsung, tindak pengamanan masyarakat, menurut konsep tersebut, akan membuka peluang terjadinya pengabaian hak-hak asasi manusia khususnya bagi pelanggar hukum. Hal ini dimungkinkan karena tindak pengamanan masyarakat yang demikian, terlalu memfokuskan diri pada masalah penghukuman. Kecenderungan yang sangat ekstrim ini kemudian digambarkan dalam pameo sebagai berikut: “demi perlindungan masyarakat maka setiap langkah represif bagi pelanggar hukum yang bagaimanapun tetap akan dibenarkan”.
Untuk menghindari dampak negatif yang mungkin saja muncul sehubungan dengan konsep pengamanan yang demikian itu, Ancel (1954) mencoba memberi batasan pengertian konsep pengamanan masyarakat (social defence) secara lebih khusus. Menurutnya, pengamanan masyarakat seyogyanya tidak semata-mata terfokus pada pelaku kejahatan tetapi juga pada kecenderungan kebijakan praktis yang harus terorganisasi dengan baik, sehingga (kebijakan itu) dapat mengendalikan kejahatan. Lebih jelas lagi, Marc Ancel menyajikan butir-butir penjabaran tentang konsep social defense atau pengamanan masyarakat itu, sebagai berikut.
1. Bahwa pengamanan masyarakat yang diartikan sebagai cara penanggulangan kejahatan harus dipahami sebagai suatu sistem yang tujuannya tidak semata-mata menghukum atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran hukum, tetapi juga pada perlindungan hak masyarakat dari gangguan dalam bentuk apapun juga, termasuk kejahatan.
2. Pengamanan masyarakat dimaksudkan untuk mewujudkan perlindungan masyarakat secara nyata melalui berbagai macam langkah di luar hukum pidana. Usaha ini lebih bertujuan untuk menetralisir pelanggaran yang terjadi di dalam masyarakat dan cenderung untuk menghindari peran hukum pidana.
3. Pengamanan masyarakat mengarah pada upaya memajukan kebijakan penghukuman yang lebih mementingkan kepentingan individu dari pada kepentingan masyarakat dalam bentuk pencegahan kejahatan. Oleh karenanya, usaha pengamanan masyarakat harus dikaitkan dengan pembinaan pelanggar hukum sehingga kebijakan penghukuman harus diarahkan secara sistematis pada pemasyarakatan.
4. Keterkaitan dengan proses pemasyarakatan hanya akan dapat dijalankan apabila ditingkatkannya sifat kemanusiaan pada hukum pidana. Berkaitan dengan perlunya sifat kemanusiaan dalam hukum pidana, maka sebagian besar hukum pidana di dunia masih mencerminkan kepentingan umum dan terlalu mengabaikan kepentingan hukum.
5. Hukum pidana yang bersifat kemanusiaan dan hukum acara pidana yang berhubungan dengan sifat-sifat kemanusiaan itu bukan semata-mata hasil dari gerakan sentimental emosional manusia, tetapi juga merupakan pemahaman ilmiah tentang kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) sebagai pribadi.
Dalam perkembangannya, pengamanan masyarakat pada awalnya terkesan sebagai suatu usaha pemberian perlindungan dari pemerintah kepada masyarakat terhadap kemungkinan gangguan kejahatan, sehingga masyarakat itu sendiri terkesan pasif. Pengamanan masyarakat juga berkembang pada usaha keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam mempertahankan diri dari kemungkinan gangguan kejahatan. Pada kondisi seperti itulah gerakan-gerakan atau aktivitas-aktivitas pencegahan kejahatan mempunyai dua tujuan pokok, yaitu:
1. mengeliminasi faktor-faktor kriminogen yang ada dalam masyarakat;
2. menggerakkan potensi masyarakat dalam hal mencegah dan mengurangi kejahatan.
Dalam pengertian tersebut maka pengamanan masyarakat bukan saja hanya sebatas usaha untuk mengurangi kejahatan dan memberi perlindungan dari ancaman kejahatan, tetapi mencakup pula proses dari suatu usaha untuk menganalisis, mengenal dan memahami ancaman kejahatan tersebut. Selain itu, pengamanan masyarakat juga merupakan perwujudan dan gerakan yang melibatkan segala aspek kehidupan masyarakat. Untuk mencapai tujuannya, pengamanan masyarakat mempunyai penataan sistem sendiri agar dapat berjalan dengan baik, yaitu dengan cara:
1. melakukan pendekatan terpadu atau yang disebut sebagai metode;
2. membina hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat yang keduanya merupakan subjek dari segala aktivitas pengamanan masyarakat;
3. menciptakan situasi aman sebagai objek pengamanan masyarakat.
Pendekatan pengamanan masyarakat yang terakhir ini sangatlah senada dan sejalan dengan konsep pencegahan kejahatan yang juga mengalami perkembangan. Seperti kita ketahui, pencegahan kejahatan merupakan usaha yang terkoordinir yang bertujuan untuk mencegah agar tingkah laku kriminal tidak benar-benar muncul. Ia juga merupakan usaha untuk menekan tingkat kejahatan sampai pada tingkat minimal (yang masih dapat ditolerir oleh masyarakat) sehingga dapat menghindari intervensi polisi.
Pengertian pencegahan kejahatan sebagai usaha untuk menekan tingkat kejahatan sampai pada tingkat yang minimal sehingga dapat menghindari intervensi polisi, sebenarnya mengandung makna bahwa terdapat kesadaran tentang kejahatan sebagai suatu hal yang tidak pernah dapat dihilangkan karena adanya keterbatasan polisi, bagi dari segi kauntitasnya maupun dari segi kualitasnya, sehingga perlu melibatkan masyarakat banyak untuk tujuan pencegahan kejahatan tersebut.
Strategi Pencegahan Kejahatan
Walaupun pencegahan kejahatan telah lama dianggap sebagai salah satu objek utama dari politik kriminal, ia tetap merupakan suatu batasan konsep yang tidak jelas dan dianggap buruk. Akan lebih tepat untuk mendiskusikan pencegahan kejahatan sebagai suatu pendekatan atau model yang mungkin dapat diterapkan daripada menganjurkan sebuah teori tentang pencegahan kejahatan itu sendiri. Ini dilihat dari pertimbangan praktisnya.
Sifat atau tujuan tradisional dari sistem peradilan pidana dan unsur-unsurnya, seperti penjeraan individual dan penjeraan umum, pengamanan dan rehabilitasi, merupakan tindak represif primer dan sangat terkait dengan pencegahan terhadap berbagai pelanggaran setelah pelanggaran tersebut timbul. Bagaimanapun juga konsep pencegahan kejahatan mencakup pula apa yang seringkali disebut sebagai pencegahan primer yaitu dengan memusatkan perhatian melalui bidang sosial, ekonomi dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum, serta berusaha untuk mencegah kejahatan sebelum suatu pelanggaran atau kejahatan itu benar-benar terjadi.
Graham (1990), memberikan batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai sesuatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan khusus untuk memperkecil lingkup dan mengurangi kekerasan suatu pelanggaran baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan ataupun melalui usaha mempengaruhi orang-orang yang secara potensial dapat menjadi pelanggar serta juga kepada masyarakat umum.
Mengikuti pendapat Brantingham dan Faust, Graham, (1990) kemudian menganjurkan pembagian strategi pencegahan yang utama ke dalam tiga kelompok berdasarkan pada model pencegahan keaktifan umum, yang meliputi (a) pencegahan primer, (b) pencegahan sekunder, (c) pencegahan tertier.
Pencegahan primer ditetapkan sebagai strategi pencegahan kejahatan melalui bidang sosial, ekonomi dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum, khususnya sebagai usaha untuk mempengaruhi situasi-situasi kriminogenik dan sebab-sebab yang mendasar dari kejahatan. Tujuan utama dari pencegahan primer ini adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memberikan harapan bagi keberhasilan sosialisasi bagi setiap anggota masyarakat. Sebagai contoh, bidang yang relevan dengan usaha pencegahan primer (intervensi atau campur tangan sebelum terjadinya pelanggaran) meliputi pendidikan, perumahan, ketenaga-kerjaan, waktu luang, dan rekreasi.
Pencegahan sekunder biasanya ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Pencegahan sekunder dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus yang meliputi identifikasi dini dari kondisi-kondisi kriminogenik dan upaya-upaya yang mempengaruhi kondisi tersebut.
Peran preventif dari polisi diletakkan dalam pencegahan sekunder, begitu pula pengawasan dari mass media, perencanaan perkotaan, serta desain dan konstruksi bangunan. Asuransi pribadi terhadap pembongkaran, pencurian, dan sebagainya juga diletakkan dalam katagori pencegahan sekunder.
Sedangkan pencegahan tertier sangat memberikan perhatian pada pencegahan terhadap residivisme melalui peran polisi dan agen-agen lain dalam sistem peradilan pidana. Segala tindakan dari pencegahan tertier ini dengan demikian berkisar dari sanksi-sanksi peradilan informal dan kondisi bayar utang bagi korban atau juga sebagai perbaikan pelanggar serta hukuman penjara. Oleh karena batasan-batasan dari sanksi yang dalam periode terakhir ini berorientasi pada pembinaan, maka pencegahan tertier juga sering kali mengurangi tindakan-tindakan yang represif.
Dari uraian di atas tampaklah bahwa target utama dari pencegahan primer adalah masyarakat umum secara keseluruhan. Target dari pencegahan sekunder adalah orang-orang yang sangat mungkin untuk melakukan pelanggaran. Sedangkan target utama dari pencegahan tertier adalah orang-orang yang telah melanggar hukum.
Jika kita kembali kepada model kesehatan masyarakat (public health model of preventive crime), maka perhatian utama dari model ini adalah lebih mengacu kepada adanya intervensi atau campur tangan sebelum peradilan (pre-judicial intervention). Sanksi peradilan formal dan apa yang kemudian kita sebut sebagai sanksi-sanksi alternatif, seperti pelayanan masyarakat atau pembinaan lanjut adalah hal-hal yang dianggap tidak esensial menurut model ini.
Klasifikasi Pencegahan Kejahatan
Ada tiga masalah mendasar yang timbul akibat adanya usaha pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier untuk menyesuaikan diri dengan model kesehatan masyarakat, yaitu:
1. Pertama, masalah yang perkaitan dengan lingkup wilayah kajian apa saja yang harus dicakup serta apa saja yang harus disisihkan. Model kesehatan masyarakat adalah suatu model yang sangat luas cakupannya dan oleh karenanya berbahaya untuk memberikan batasan yang sangat luas bagi pencegahan kejahatan. Hal ini dapat melarutkannya dalam suatu slogan yang tidak mempunyai arti.
2. Kedua, masalah yang berkaitan dengan apa yang seharusnya dicakup dalam masing-masing tingkat pencegahan; kapan suatu aktivitas itu termasuk pencegahan primer atau sekunder? Apakah pembinaan itu termasuk pencegahan sekunder atau pencegahan tertier? Pada bagian mana pengadilan dan tahanan itu tepat diletakkan? Apakah pencegahan terhadap pengulangan pelanggaran itu ada dalam kategori yang sama dengan pencegahan bagi pelanggaran yang pertama kali? Bagaimana dengan kerja Polisi? Beberapa aktivitas mereka dapat dianggap masuk dalam katagori pencegahan primer (misalnya melakukan pengawasan keamanan dan merencanakan pengawasan ketetanggaan) sementara aktivitas lain dapat ditafsirkan sebagai pencegahan sekunder atau bahkan sebagai pencegahan tertier.
3. Ketiga, masalah yang berkaitan dengan sifat model kesehatan masyarakat yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip ilmiah dan dapat dijelaskan secara medis. Kecenderungannya adalah melihat suatu hubungan melalui pendekatan ilmu pasti. Dalam mengkaji masalah kejahatan maka hal ini cenderung akan mengalami kesulitan, apabila hubungan atau korelasi kriminologik dipandang sebagai suatu hubungan yang pasti. Kejahatan adalah masalah sosial. Masalah sosial bukanlah masalah yang seperti lazimnya dipelajari oleh ilmu pasti. Masalah sosial seyogianya lebih dipelajari oleh ilmu sosial. Ilmu sosial lebih ditandai oleh tingkat probabilitas dan korelatif dari kepastian dan sebab-sebab. Pencegahan kejahatan sebagai bagian dari ilmu sosial tidak saja berisi teori-teori yang saling berkompetisi tetapi juga sarat dengan fakta-fakta yang tidak mencukupi atau saling bertentangan untuk mencapai suatu validitas atau kebenaran dari berbagai perkara. Lebih jelas lagi, setiap pelanggaran yang relatif berbeda dengan pelanggaran yang lain menurut motif, sifat, dan aspek-aspek pendukung dan pencetusnya tentunya membutuhkan penjelasan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, penjelasan tentang kejahatan kekerasan akan relatif berbeda dengan penjelasan tentang kejahatan pemilikan umum, pelacuran dengan penipuan, penyalahgunaan anak melalui pengutilan, dan sebagainya. Penjahat dan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi penjahat adalah kelompok yang mempunyai tingkat heterogenitas tinggi dan perlu untuk dijadikan target dalam banyak cara yang berbeda.
Permasalahan dalam kejahatan sangatlah multi-kausal dan membutuhkan pengkajian dari tingkat dan sudut pandang yang berbeda-beda. Masalah yang berlipat ganda membutuhkan solusi yang berlipat ganda pula, oleh sebab itu program pencegahan itu sendiri seringkali terkait dalam berbagai sistem pemberian pelayanan yang berlipat ganda. Jadi, walaupun pencegahan kejahatan telah lama ditetapkan sebagai objek utama dari politik kriminal, konseptualisasinya tetap masih dalam masa pertumbuhan (belum sempurna). Graham (1990), memberi catatan bahwa pencegahan kejahatan tidaklah dapat didefinisikan sebagai suatu perangkat teknis, tetapi tetap sebagai suatu konsep yang sedang berjuang untuk dilahirkan.
Didasari atas konsep pemikiran di atas serta menyangkut pernyataan bahwa strategi pencegahan kejahatan haruslah lebih bersifat teoritis praktis, maka beberapa ahli memutuskan untuk membagi pencegahan kejahatan ke dalam tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan sosial, (2) pendekatan situasional, (3) pendekatan kemasyarakatan.
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan sosial biasa disebut sebagai (Social Crime Prevention), segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar penyebab kejahatan dan kesempatan individu untuk melakukan pelanggaran. Yang menjadi sasarannya adalah populasi umum (masyarakat) ataupun kelompok-kelompok yang secara khusus mempunyai resiko tinggi untuk melakukan pelanggaran.
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan situasional biasanya disebut sebagai Situational Crime Prevention, perhatian utamanya adalah mengurangi kesempatan individu atau kelompok untuk melakukan pelanggaran.
Pencegahan kejahatan melalui pendekatan kemasyarakatan sering disebut sebagai Community based Crime Prevention, biasanya semua langkah atau tindakan yang diambil ditujukan untuk memperbaiki kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kapasitas mereka untuk menggunakan kontrol sosial informal.
Ketiga pendekatan pencegahan kejahatan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai bagian-bagian yang terpisah atau mempunyai ciri-ciri tersendiri yang benar-benar mutlak, tetapi lebih merupakan pendekatan yang saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain.
Bagi sebagian besar orang, ide dari pencegahan kejahatan adalah sangat menarik. Bagi kaum tradisional, pencegahan kejahatan dapat dikatakan sebagai suatu impian yang bersifat sementara di mana penduduk dilindungi dari kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh keganasan manusia melalui sifat kewaspadaan dan efisiensi sistem pengawasan sosial. Bagi kelompok lainnya (di luar kaum tradisional), masyarakat idaman (the utopian society) adalah masyarakat yang setiap anggotanya diberi tonggak atau acuan konformitas dan oleh karenanya membuat mereka tidak mungkin menjadi delinkuen atau menjadi kriminal. Namun terdapat suatu alasan untuk menjadi curiga/sangsi terhadap harapan-harapan yang utopis karena adanya kejahatan, seperti juga kegagalan organis, di mana hal itu dianggap sebagai aspek yang wajar dalam kehidupan manusia.
Pernyataan yang terlalu congkak atau impian yang terlalu tinggi ini, menurut Empey dan Lamar (1974), pada akhirnya dapat ditaklukkan terutama yang menyangkut hal-hal yang dianggap sepele oleh impian utopia. Hal-hal yang tidak terkendali, kegagalan, dan kejahatan dapat menguasai kehidupan manusia tetapi pengawasan tidak pernah dapat lebih berhasil dari sekedar menjaga kejahatan pada tingkat yang dapat diterima (dapat ditolerir) dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu Wheeler (1974) menyatakan bahwa kejahatan ditemui pada tingkat yang bervariasi dalam masyarakat modern, khususnya pada masyarakat perkotaan dan masyarakat industri. Bentuk-bentuk yang khusus yang ada dalam setiap masyarakat akan sangat berhubungan (erat kaitannya) dengan cara bagaimana masyarakat yang bersangkutan terorganisasi. Sedangkan Merton, juga Cloward dan Ohlin (1974), mengatakan bahwa suatu masyarakat, seperti masyarakat Amerika misalnya, meletakkan kebebasan sebagai suatu hadiah yang mahal, yang dapat membantu kebiasaan-kebiasaan masyarakat untuk maju, serta dianggap sebagai harga dari suatu keberhasilan material yang tidak secara sama dapat dinikmati oleh setiap anggota masyarakat.
Secara kontradiktif, nilai dominan yang dapat membantu mewujudkan aspirasi dan perjuangan yang tinggi dapat pula menjadi sesuatu yang sangat mendukung kejahatan sebagai suatu cara (sarana) untuk mencapai aspirasi tersebut. Beberapa pertimbangan ini, kemudian menjadikan dasar dari asumsi-asumsi yang begitu mudah dan gegabah dikemukakan bahwa pencegahan total dari segala kejahatan memang diinginkan/diperlukan dan dapat dipikirkan. “Ini sebenarnya merupakan tinjauan historis, merupakan warisan sejarah, yang secara wajar memang timbul dalam kehidupan masyarakat perkotaan, dan secara khusus berhubungan dengan sistem nilai (masyarakat) Amerika yang menganggap bahwa kita dapat mengatasi/menghadapi masalah-masalah yang kronis seperti halnya upaya-upaya yang tidak pernah menyerah untuk usaha-usaha pencegahan”.
Selama tahun 1960 sampai dengan tahun 1970, perhatian terhadap metode pencegahan kejahatan dan pengawasan begitu mendominasi. Fakta-fakta yang bersumber dari penegak hukum menunjukkan bahwa kejahatan dan delinkuensi begitu meningkat secara pesat. Walaupun akan muncul pertanyaan mengenai ketelitian dan kebenaran fakta-fakta yang menggambarkan peningkatan kejahatan dan delinkuensi, tetapi yang lebih menuntut perhatian bukanlah bagaimana menjawab kebenaran itu tetapi lebih terletak pada apa yang harus diperbuat sehubungan dengan apa yang dirasakan dan diinterpretasikan oleh kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat.
Salah satu hal utama yang dapat ditarik intinya dari sekian respons yang positif adalah anggapan bahwa negara telah berada dalam risiko yang mengerikan sebagai akibat tingkat keseriusan kejahatan dan delinkuensi. Empey dan Lamar (1974), mengungkapkan hal ini secara lebih rinci, yaitu bahwa sebuah kata kiasan yang sangat disukai adalah war of crime. Maksud yang terkandung di dalam kata kiasan tersebut adalah sangat jelas. Ini merujuk kepada keadaan bahwa masyarakat diancam bahaya yang serius dari adanya berbagai kekerasan yang merupakan akibat dari tingkah laku pengrusakan. Hal ini memerlukan usaha-usaha yang lebih ditingkatkan dan membutuhkan sumber-sumber daya yang tersedia di masyarakat untuk menundukkan ancaman bahaya tersebut. Pengalihan konsep dari crime control menuju war of crime menandakan adanya transisi keprihatinan yang menyatakan adanya keadaan darurat.
Teori kriminologi
Inisiasi 5
Inisiasi ke 5 ini disadur dari modul 5 Teori Kriminologi (SOSI4302)
Penggolongan Ajaran tentang Etiologi Kriminal
Kriminologi dalam perkembangannya merupakan suatu akumulasi dari berbagai teori yang memiliki landasan konsep yang berbeda-beda. Konsep tersebut berkembang seiring dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan dalam masyarakat. Untuk mewujudkan suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis, maka dilakukan penggolongan ajaran kriminologi berdasarkan konsep dasar yang melandasinya.Pembahasan mengenai teori selalu harus dihubungkan dengan pandangan-pandangan atau falsafah yang mempengaruhi si pembuat teori. Vold (1979), mengatakan bahwa sebuah teori adalah bagian dari suatu penjelasan. Selanjutnya, Vold mengatakan bahwa pada dasarnya sebuah penjelasan adalah sesuatu yang dihasilkan melalui pikiran yang sehat yang berkaitan dengan gejala tertentu yang dipertanyakan oleh keseluruhan ilmu pengetahuan. Keseluruhan ilmu pengetahuan itu merupakan latar belakang yang mendasar dari kebudayaan yang kontemporer, dari dunia informasi, dari berbagai kepercaaan dan sikap-sikap yang merupakan komponen yang sangat mendasar dunia intelektual dari masyarakat tertentu pada tempat dan waktu yang tertentu pula.
Etiologi merupakan ilmu yang mempelajari asal muasal dari suatu hal.
Secara umum dapat dikatakan bahwa intelectual history atau sejarah mengenai pengetahuan dari akal pikir manusia menunjukkan dua pendekatan dasar dari masalah ‘penjelasan’ (explanation), yakni:
1. Spristic atau Demonological Explanation, dan
2. Naturalistic Explanation.
Spristic atau Demonological Explanation, adalah penjelasan tentang sesuatu yang dicarikan jawabannya didasarkan pada keterangan-keterangan yang terkait dengan kekuatan gaib dari lain dunia. Karena kekuatan gaib itu sukar dijelaskan dan tidak dapat dimengerti, maka ini merupakan suatu cara yang terbaik untuk menerangkan gejala-gejala yang sukar dimengerti atau diterima. Dihubungkan dengan kejahatan, maka kejahatan adalah penunjukan kepada godaan setan. Jadi. penjelasan yang demikian inilah yang disebut sebagai penjelasan demonologis (demonological explanation).
Sedangkan naturalistic explanation adalah kebalikan dari penjelasan demonologis, di mana penjelasan ini bersumber dari berbagai keterangan dicari dalam ide-ide dan penafsiran-penafsiran mengenai objek kejadian dalam hubungannya dengan dunia nyata. Pemikiran-pemikiran modern yang ilmiah sudah melepaskan diri dari kekuatan gaib. Mereka mempergunakan cara-cara “naturalistic explanations”.
Berdasarkan pendekatan naturalistik ini kemudian timbul tiga pokok pemikiran, yang berbeda-beda, yang kemudian menjadi dasar dari berbagai teori. Pendekatan naturalistik melahirkan tiga pokok pikiran yang berbeda-beda yang meliputi pemikiran klasik, determinisme biologi, dan deternisme kebudayaan.
1. Yang pertama, yaitu pemikiran klasik, adalah teori yang menyatakan bahwa kepandaian dan akal (pikir) merupakan ciri-ciri dasar dari manusia dan karena itu merupakan dasar pokok dalam menjelaskan kelakuan manusia, baik individual maupun dalam kelompok. Kepandaian ini membuat manusia cakap untuk menentukan tujuan hidupnya, dan memajukan kepentingannya. Ini adalah dasar dari pemikiran Klasik. Kata-kata yang mengambil artinya dari konsep ini adalah: rationalisme, hedonisme, utilitarianisme, kontrak sosial dalam hubungannya dengan indeterminisme, dan free will atau kehendak bebas.
2. Kedua adalah determinisme biologis. Teori ini menyatakan bahwa manusia pada dasarnya merupakan suatu organisme-biologis, suatu bagian dari dunia makhluk biologis dan karena itu tunduk pada pembatasan-pembatasan dan pengontrolan dari apa yang dinamakan hukum biologis (determinisme biologis). Pandangan ini juga mengemukakan bahwa manusia bukanlah suatu makhluk yang dapat bebas menentukan segala sesuatunya berdasarkan kemauan dan kepandaiannya, akan tetapi manusia adalah makhluk yang dibatasi tindakannya. Jadi tindakan manusia itu dibatasi atau ditentukan oleh organisme biologisnya. Manusia itu berubah dan berkembang, bukan saja kepandaiannya, tetapi juga unsur biologisnya. Evolusi sosial adalah paralel (atau mungkin hasil) dari evolusi biologis (teori Darwin).
3. Berikutnya adalah determinisme kebudayaan di mana teori menyatakan bahwa meskipun kegiatan mengidentifikasi tindakan manusia dengan dunia biologinya (agar manusia mengenal dirinya sebagai manusia/human being) itu dianggap penting, tetapi tindakan manusia itu selalu berkaitan dengan dunia kebudayaan sosialnya dan sedikit banyak merupakan cermin dari ciri-ciri dunia kebudayaan sosial di mana ia hidup (determinisme kebudayaan). Pandangan ini didasarkan pada pendapat bahwa dunia kebudayaan dianggap relaif dan terpisah dari dunia biologi. Ini artinya bahwa perubahan dalam dunia kebudayaan tidak menimbulkan perubahan langsung dan segera pada dunia biologi, dan sebaliknya. Jadi, kebudayaan akan dihasilkan oleh biologi, sedangkan fakta biologis bukan merupakan suatu penjelasan bagi suatu gejala kebudayaan. Sebagai contoh untuk menggambarkan hal ini adalah dipergunakannya bahasa. Bahasa yang dipergunakan seseorang sangat tergantung atau ditentukan oleh pola kebudayaan sekelilingnya (orang berbahasa Jerman, Inggris, Indonesia bukan karena ada perbedaan biologis pada alat-alat tenggorokannya). Begitu pula mengenai agama, politik, kelakuan, kebiasaan-kebiasaan, semua adalah hasil dari kebudayaan sekitarnya. Semuanya ditentukan oleh kebudayaan.
Seorang rasionalis (indeterminisme) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat belajar dan menarik keuntungan dari pengetahuannya sehingga dapat pula mengubah tindakannya sejalan dengan keinginannya. Kejahatan karena itu dibahas berdasarkan tingkat-tingkat kesengajaan, motif, kehendak dan pengertian mengenai baik dan buruk. Tindakan manusia dalam pengertian ini dapat diatur melalui dengan undang-undang, aturan, norma, dan kaidah karena manusia yang tahu apa yang baik dan sesuai dengan aturan-aturan, akan berpikir sebelum melakukan suatu kejahatan.
Bagi seorang penganut determinisme biologis, maka dunia kebudayaan hanya suatu perluasan dari dunia biologi. Keterangan mengenai kejahatan harus dicari dalam sifat-sifat individu. Mereka mencoba untuk mencari kelainan-kelainan pokok yang membedakan antara manusia penjahat dengan yang bukan penjahat.
Seorang penganut determinisme kebudayaan akan mengecilkan arti dari perbedaan-perbedaan pokok antarindividu, dasar-dasar biologis, maupun keturunannya. Di sini, gejala kejahatan dilihat sebagai suatu aspek dari pertumbuhan dan pertarungan untuk memperoleh kekuasaan, di antara kelompok dan kekuatan dalam masyarakat. Mereka bukannya tidak melihat adanya perbedaan individual, tetapi mereka tidak melihat pentingnya perbedaan-perbedaan ini dalam menjelaskan kejahatan.
Ada beberapa penggolongan (tipologi) ajaran mengenai etiologi kriminal (sebab musabab kejahatan) dari beberapa ahli kriminologi, diantaranya dari Sutherland, dari Barnes dan Teeters, serta dari Bonger. Penggolongan ini dilakukan setelah mempelajari pokok-pokok pemikiran yang menggunakan pendekatan anumerlistik terhadap kejahatan. Memang penggolongan tersebut mempermudah cara mempelajari suatu pengetahuan, akan tetapi di samping ini, ada pula segi negatifnya yakni berupa bahaya sebagai berikut:
1. Orang cenderung untuk melebih-lebihkan penggolongan atau perbedaan-perbedaan antara golongan-golongan yang satu dengan golongan yang lain.
2. Dengan penggolongan ini merupakan pembatas antara golongan yang satu dengan golongan yang lain yang justru sering dipertajam, sehingga apa yang berada di tengah-tengahnya (pembatas) dimasukan saja ke dalam salah satu golongan.
3. Penggolongan ini juga mereduksikan apa yang tidak cocok, yang dibutakan oleh realitas yang tidak sesuai, dalam arti tidak mau tahu akan realitas-realitas lain yang tidak sesuai. Dengan demikian bila ternyata ada hal-hal/segi-segi yang tidak cocok dengan apa yang telah digariskan oleh penggolongan tersebut, maka seringkali hal-hal/segi-segi yang berbeda itu lalu dihilangkan, dianggap tidak ada.
Pada inisiasi ini kita hanya akan membahas Penggolongan Sutherkand saja sedang penggolongan Barnes dan Teeters serta Bonger dapat And abaca sendiri di dalam Modul 5
Kita mulai terlebih dahulu apa yang diartikan sebagai mashab kriminologi oleh Sutherland (1960). Mashab kriminologi adalah suatu sistem pemikiran yang dianut oleh para penganut/pendukung dari sistem dimaksud. Sistem pemikiran ini nerupakan gabungan dari teori sebab-musabab terjadinya kejahatan dengan politik pengawasan (control).
1. Ajaran Klasik
Penggolongan menurut Sutherland didasarkan pada:
a. Sebab-musabab;
b. Politik pengawasan (control).
Ajaran Klasik dari kriminologi dan hukum pidana mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke-19 dan meluas ke negara lain di Eropa dan Amerika. Dasar ajaran ini adalah hedonistic psychology. Menurut ajaran ini, manusia mengatur tingkah lakunya atas dasar pertimbangan suka dan duka. Suka yang diperoleh dari suatu tindakan tertentu dapat dibandingkan dengan duka yang diperoleh dari tindakan yang sama; atau jumlah secara aljabar dari suka dan duka tindakan tertentu dapat diseimbangkan dengan jumlah aljabar dari suka dan duka tindakan yang lain. Manusia yang melakukan tindakan itu diperkirakan berkehendak bebas serta menentukan pilihannya berdasarkan perhitungan hedonistik belaka. Inilah yang dianggap penjelasan final dan lengkap tentang sebab musabab terjadinya kejahatan.
Beccaria pada tahun 1764 menerapkan doktrin ini dalam penologi, dengan maksud untuk mengurangi kewenangan dan kekuasaan hukum. Menurut dia, semua orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya/miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadaan lainnya. Hukuman yang dijatuhkan harus sedemikian beratnya, sehingga melebihi suka yang diperoleh dari pelanggaran undang-undang tersebut.
Pendapat ekstrim ini kemudian dirubah/diperlunak dalam dua aspek, yaitu anak-anak dan orang gila mendapat pengecualian, atas dasar pertimbangan bahwa mereka tidak mampu untuk memperhitungkan secara inteligen (kematangan berpikir) suka dan duka. Di sini hukuman ditetapkan dalam batas-batas tertentu dan tidak (ditentukan) lagi secara absolut, secara mutlak, sehingga memungkinkan adanya sedikit diskresi (pengecualian). Dengan perubahan ini doktrin Klasik menjadi tulang punggung hukum pidana dan berlaku sampai sekarang.
Psikologi yang menjadi dasar ajaran ini sekarang dipersoalkan secara umum. Sifatnya yang individualistis, intelektualistis, dan voluntaristis memperkirakan adanya kebebasan kehendak sedemikian rupa, sehingga tidak ada, atau setidaknya, sangat sedikit sekali kemungkinan-kemungkinan untuk menyelidiki sebab-sebab terjadinya kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan. Semua ajaran yang sealiran dengan ajaran ini mengakui hipotesis sebab-musabab yang naturalistis, dan karenanya kadang-kadang disebut positivistis (ajaran positif).
2. Ajaran Kartografis atau Geografis
Ajaran ini berkembang dengan subur di Perancis, Inggris, dan Jerman dari tahun 1830-1880. Ajaran ini sama dengan apa yang akhir-akhir ini disebut sebagai ajaran ekologis. Ajaran ini memfokuskan dan mengkaji pada pentingnya distribusi kejahatan di daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara sosial. Ajaran ini menganggap bahwa kejahatan merupakan suatu ekspresi darip kondisi-kondisi sosial yang ada. Penganut-penganut ajaran ini adalah Quetelet, dan Guerry. Periode ajaran kartografis atau geografis tidak diketahui oleh ahli-ahli kriminologi zaman sekarang, sampai diketemukannya kembali oleh Lindesmith dan Levin.
3. Ajaran Sosialis
Ajaran Sosialis dalam kriminologi, yang berasaskan tulisan-tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, dimulai dalam tahun 1850 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah determinisme ekonomis. Ajaran ini memandang bahwa kejahatan hanya merupakan produk semata, by product, sebagai akibat atau hasil tambahan saja. Walaupun demikian banyak sekali penyelidikan fakta-fakta yang telah dilakukan, terutama yang dilakukan dengan menggunakan metode statistik, dan menghasilkan banyak data mengenai berbagai variasi dalam kejahatan yang dihubungkan dengan berbagai variasi kondisi ekonomi. Kesimpulan yang ditarik dari penyelidikan faktor ini biasanya sesuai dengan dugaan-dugaan yang sebelumnya telah dibuat oleh para penyelidik yang menggunakan pendekatan ajaran sosialis, dan karenanya dianggap sebagai mendukung pimpinan politik sosialis.
Walaupun demikian ajaran ini dapat dikatakan bersifat ilmiah, sebab dimulai dengan sebuah hipotesis serta kumpulan bahan-bahan nyata dan menggunakan cara yang memungkinkan orang lain untuk mengulangi penyelidikan-penyelidikannya dan menguji kembali kesimpulan-kesimpulannya.
4. Ajaran Tipologis
Di dalam kriminologi telah berkembang 3 ajaran yang disebut ajaran tipologis atau bio-tipologis. Ketiga-tiganya mempunyai logika dan metodologi yang sama, dan ketiganya berasaskan pada dalil yang menyatakan bahwa penjahat itu berbeda dari (orang) yang bukan penjahat, karena (penjahat) memiliki ciri-ciri kepribadian yang mendorong timbulnya kecenderungan luar biasa (menyimpang dari kebiasaan) untuk melakukan kejahatan dalam situasi tertentu, di mana hal ini justru tidak mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan.
Kecenderungan untuk melakukan tindakan kejahatan ini mungkin diwarisi dari orang tuanya, atau mungkin juga merupakan ekspresi dari ciri-ciri kepribadiannya yang lain daripada yang lain, di mana situasi sosial dan proses sosialnya tidak diperhitungkan, pada waktu mencari arti dari tindakannya atau pada waktu mengawasi tindakannya itu.
Ketiga ajaran tipologis ini berbeda satu dengan lainnya dalam menentukan ciri-ciri khas yang membedakan antara mereka penjahat dengan yang bukan penjahat. Ketiga ajaran tipologis tersebut adalah:
a. Ajaran Lombrosso
Menurut konsep Ajaran Lombroso, seorang penjahat itu sejak lahir memiliki tipe khusus. Tipe ini dapat dikenali dari tanda-tanda atau ciri-ciri atau cap tertentu yang terdapat dalam dirinya, seperti bentuk kepala yang asimetris, rahang bawah yang lebih panjang, hidung pesek, mata juling, bibir tebal, kuping hanya ada sebelah, dan sebagainya.
Tanda-tanda khusus yang dianggap sebagai keanehan fisik tersebut bukanlah faktor yang secara langsung menyebabkan timbulnya kejahatan, melainkan hanya menggambarkan kepribadian yang ditakdirkan untuk menjadi jahat. Kepribadian ini adalah akibat dari atavisme, yaitu reversi (penggambaran) kepada tipe biadab, atau akibat dari adabya degenerasi. Menurut Lombroso, hal ini terjadi khususnya disebabkan oleh karena epilepsi atau penyakit ayan.
Karena tabiatnya ini, orang-orang yang demikian tidak dapat menghindarkan diri dari kejahatan, kecuali apabila keadaan hidupnya sangat menguntungkan. Golongan-golongan atau kelas-kelas penjahat, seperti misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lain mempunyai tanda-tanda atau cap yang berbeda-beda.
b. Ajaran Mental Tester
Meskipun ajaran Lombroso mulai mundur, tetapi logika dan metodologinya tetap dipertahankan. Hanya saja, di sini feeble mindedness menggantikan tipe fisik sebagai ciri-ciri khas yang membedakan antara mereka yang penjahat dari mereka yang bukan penjahat. Menurut ajaran ini, feeble mindedness itulah yang menyebabkan timbulnya kejahatan, sebab orang yang feeble mindedness tidak dapat menilai akibat-akibat dari perbuatannya atau tidak dapat memahami serta menilai arti hukum. Ajaran ini mulai mundur ketika terbukti bahwa sifat feeble mindedness ini terdapat baik padamereka yang penjahat maupun pada mereka yang bukan penjahat.
c. Ajaran Psikiatri
Ajaran ini sebenarnya merupakan lanjutan dari Ajaran Lombroso tanpa perubahan pada ciri-ciri morfologis (yang berdasarkan struktur). Seperti halnya Ajaran Lombroso, ajaran ini menekankan pada arti psychose, epilepsi dan moral insanity yang merupakan penyebab timbulnya kejahatan. Ajaran ini, dengan demikian, memberi arti penting kepada kekacauan-kekacauan atau ketidakseimbangan emosional yang timbul dalam interaksi sosial dan bukan karena pewarisan.
Pokok ajaran ini menegaskan bahwa kondisi tertentu dari kepribadian seseorang yang berkembang jauh terpisah dari pengaruh-pengaruh jahat, tetap saja akan menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi-situasi sosial disekelilingnya.
5. Ajaran Sosiologis
Di antara ajaran-ajaran Kriminologi, ajaran ini adalah yang paling banyak variasi dan perbedaannya. Analisis sebab-sebab kejahatan secara sosiologis dimulai oleh ajaran kartografis dan sosialis. Banyak ahli ilmu pengetahuan Eropa dari abad ke-19 yang tidak menganut ajaran ini, menafsirkan kejahatan sebagai fungsi daripada (kehidupan) lingkungan sosial.
Perkembangan yang terbesar dari ajaran ini terjadi di Amerika Serikat. Pada akhir abad ke-19 kriminologi diterima sebagai suatu bidang studi dari sosiologi. Sejak saat itulah studi ini berkembang sangat pesat di Amerika Serikat di mana studi ini dilakukan secara sistematis dalam mengkaji kejahatan dan penjahat. Ahli-ahli sosiologi, misalnya Goring, telah mendorong berkembangnya ajaran ini di Amerika Serikat.
Pokok pangkal Ajaran Sosiologis ini ialah bahwa tindakan jahat itu dihasilkan oleh proses-proses yang sama seperti halnya tindakan sosial lainnya. Analisa proses-proses ini, yang dihubungkan dengan kejahatan, terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Statistik Demografi
Para ahli Sosiologi telah mencoba untuk menghubungkan berbagai variasi menyangkut tingkat (rate) kejahatan dengan variasi di dalam organisasi sosial, termasuk berbagai variasi yang terdapat dalam sistem institutional yang lebih luas. Kondisi-kondisi sosial yang dihubungkan dengan rate kejahatan dari masyarakat mencakup proses mobilitas, konflik kebudayaan, persaingan dan stratifikasi, ideologi politik, agama dan ekonomi, kepadatan penduduk dan komposisi penduduk, distribusi kekayaan pendapatan, dan ketenagakerjaan. Cara analisis ini tidak disukai lagi, terutama karena para kriminolog menyadari betapa tidak dapat dipercayanya statistik kejahatan. Mungkin variasi dalam rate kejahatan hanyalah menggambarkan perbedaan-perbedaan dalam prosedur pada frekuensi kejahatan, sehingga analisis sosiologis dari variasi-variasi dianggap berbahaya.
b. Psikologi Sosial
Para ahli Sosiologi telah mencoba untuk merumuskan berbagai proses yang telah mengakibatkan seseorang menjadi jahat. Analisis ini dihubungkan dengan teori umum tentang “social learning” dengan menggunakan konsep-konsep seperti imitasi, arti sikap, asosiasi yang berbeda (differential association), serta kompensasi dan agresi karena frustrasi. Orientasi ajaran ini pada waktu ini umumnya diambil dari teori-teori psikologi sosial dari John Dewey, George Herbert Mead, Charles Horton Cooley, dan William Isaaq Thomas. Perkembangan yang dialami seseorang itu sama seperti perkembangan perilaku dari seorang bankir, seorang pelayan, atau seorang dokter. Yang dianggap sebagai unsur terpenting yang menentukan apakah seseorang menjadi jahat atau tidak penjahat adalah isi pelajarannya, dan bukan proses-proses itu sendiri.
Pada waktu itu ada pertentangan pokok antara Ajaran Psikiatri dan Ajaran Sosiologis. Walaupun pengikut dari masing-masing ajaran itu mengakui pentingnya arti ajaran yang satu bagi ajaran lainnya, dalam arti bahwa ajaran psikiatri mengakui pentingnya ajaran sosiologis serta sebaliknya, akan tetapi ada ketidaksamaan paham tentang seberapa jauh kepribadian atau kebudayaan harus diutamakan dalam teori-teori kriminologi. Sebab tidak ada kesesuaian paham mengenai cara-cara yang spesifik di mana kepribadian dan kebudayaan bekerja sama untuk menghasilkan bentuk-bentuk khusus dari kelakuan tidak jahat.
Teori kriminologi
Inisiasi 6
Inisiasi ini disadur dari Modul 6 Teori Kriminologi (SOSI4302)
Teori Tempat Kejahatan danTeori Aktivitas Rutin
Shaw dan McKay (1969), memusatkan perhatiannya pada empat kecenderungan yang menggambarkan karakteristik dari kehidupan perkotaan, seperti kejahatan, kemiskinan, keanekaragaman etnis atau suku bangsa, serta mobilitas warga atau penghuni. Berbagai kecenderungan tersebut dapat membawa akibat "penggerogotan" pada organisasi sosial dari komunitas perkotaan yang bersangkutan (Bursik, 1988; Ferdinand, 1987; Shaw and McKay, 1969).Mempelajari kemerosotan dari norma-norma sosial ini, Shaw dan Mc Kay (1969), melakukan beberapa studi tentang delinkuensi (kenakalan remaja) di Chicago selama kurang lebih 30 tahun. Studi mereka kemudian menghasilkan kesimpulan yang senada dan mendukung temuan dari studi yang pernah dilakukan oleh Park, yang menunjukkan bahwa kenakalan remaja lebih banyak terjadi dalam zona transisi.
Beberapa temuan dari studi yang dilakukan oleh Shaw dan McKay (1969), antara lain:
1. Komunitas yang (semakin) stabil, mantap, dan mapan cenderung mempunyai tingkat delinkuensi yang semakin rendah.
2. Komunitas dengan tingkat delinkuensi yang lebih tinggi mempunyai nilai-nilai sosial yang berbeda dengan komunitas yang mempunyai tingkat delinkuensi yang lebih rendah.
3. Daerah yang mempunyai tingkat penghasilan lebih rendah dengan tingkat frustrasi dan depriviasi lebih tinggi mempunyai tingkat delinkuensi yang lebih tinggi.
4. Kondisi sosial dalam suatu komunitas (seperti kondisi kepadatan tinggi) sangat berkaitan langsung dengan tingkat delinkuensi.
5. Di daerah pemukiman golongan masyarakat kelas rendah, di mana kemapanan keseragaman nilai sosial di dalam masyarakat sangat stabil, delinkuensi cenderung dilihat sebagai alternatif yang disetujui oleh para pelakunya sebagai alternatif perilaku walaupun merupakan pelanggaran hukum.
TEORI TEMPAT KEJAHATAN
Dalam teori tentang Tempat Kejahatan, Rodney Stark (1987) sebenarnya melakukan penambahan dan penyempurnaan atas hal-hal yang telah dilakukan oleh para pendahulunya yang tergabung dalam kelompok Chicago school. Stark mengajukan pertanyaan, bagaimana masyarakat ketetanggaan dapat tetap berada pada tempat di mana tingkat kejahatannya tinggi walaupun memang di antara mereka terjadi pergantian dalam populasinya?
Kesimpulannya bahwa terdapat kondisi yang unik tentang tempat tertentu yang memunculkan kejahatan. Dalam konteks ini, Stark (1987) memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial.
Menurut Stark (1987), sifat dari ekologi komunitas ketetanggaan menentukan tingkat kejahatan. Walaupun di daerah yang berpenghasilan rendah, tingkat kejahatannya dapat saja lebih rendah jika komunitas tersebut tidak terlalu padat, atau jika penduduk banyak tetapi jarak antarrumah tidak terlalu rapat, atau jika mayoritas penduduk masih memegang nilai moral, atau jika polisi di sekitar komunitas tersebut mempunyai derajat toleransi yang rendah terhadap kejahatan.
Merujuk pada uraian di atas, secara lebih rinci kita dapat memberi batasan tentang tempat kejahatan sebagai suatu daerah atau tempat di mana banyak terdapat pelaku kejahatan (termasuk juga mereka yang potensial sebagai pelaku kejahatan) serta banyaknya peristiwa kejahatan yang terjadi di tempat atau daerah tersebut atau besarnya kemungkinan dilakukannya beberapa jenis kejahatan di tempat tersebut.
Untuk mengetahui tempat atau daerah mana yang banyak terdapat pelaku kejahatan atau orang-orang yang secara potensial sebagai pelaku kejahatan adalah sulit. Dalam menentukan seseorang yang berkumpul atau berada dalam suatu tempat tertentu sebagai penjahat, kita akan berhadapan dengan kepastian hukum (ingat kegiatan belajar tentang: siapakah yang disebut sebagai penjahat). Apalagi menentukan seseorang adalah potensial sebagai pelaku kejahatan. Prasangka yang gegabah akan menghantarkan kita pada kesalahan pengamatan dan ketidakadilan dalam memandang seorang individu. Berbeda dengan jika kita batasi tempat atau daerah kejahatan sebagai tempat atau daerah yang banyak terjadi peristiwa kejahatan, data atau informasi yang menghantarkan kita untuk menentukan bahwa daerah tertentu adalah daerah yang banyak terjadi peristiwa kejahatan adalah relatif mudah. Kita dapat, salah satu di antaranya, menggunakan metode statistik kriminal yang dapat menunjukkan daerah tertentu yang banyak terjadi peristiwa kejahatan.
Sementara itu, Schmid (1960), mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu daerah di mana kejahatan sering dilakukan. Beberapa karakteristik itu adalah:
1. rendahnya tingkat pergaulan sosial;
2. kurangnya rasa kekeluargaan;
3. rendahnya tingkat sosial dan ekonomi;
4. kondisi fisik yang buruk;
5. tingginya tingkat mobilitas penduduk;
6. menurunnya moral penduduk.
Karakteristik di atas merupakan kondisi yang menunjukkan daerah tersebut sebagai daerah kejahatan yang berhubungan erat dengan tingginya angka kejahatan yang terjadi di daerah tersebut. Faktor ini mempunyai pengaruh yang cukup berarti dan bersifat kausal terhadap individu yang tinggal di dalamnya dan terutama mempengaruhi norma masyarakat yang berlaku di dalam di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kondisi demikian akan mengingatkan kita pada delinquent area, seperti yang pernah dijelaskan oleh Shaw (1969) dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Tingkah laku di dalam daerah tersebut cenderung melanggar norma . Jadi, apa yang biasa disebut criminal behaviour itu dianggap sebagai suatu hal yang biasa.
2. Kondisi-kondisi fisik daerah itu buruk, misalnya perumahan yang buruk, jalan-jalan yang buruk, kebersihannya buruk, dan sebagainya.
3. Penduduknya rapat atau padat.
4. Mobilitas penduduknya tinggi.
5. Terletak di dekat aktivitas perdagangan dan industri.
6. Kontrol sosial sangat kurang.
7. Standar hidup penduduknya rendah.
8. Standar pendidikan penduduknya rendah.
9. Tingkat keberadaan penjahat dewasa tinggi.
10. Disorganized neighbourhood, yaitu lingkungan yang tidak baik dan kacau di mana di tempat tersebut anak-anak tidak cukup mendapatkan pendidikan dan pengetahuan tentang nilai-nilai yang biasa dijunjung tinggi oleh masyarakat, seperti nilai hak milik orang lain, nilai pendidikan, nilai moral, dan sebagainya.
Para ahli yang berkutat dengan tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman (Shaw& Mckay 1942). Para peneliti saat ini sudah memperluas daftar dari aspek korelatif tadi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga single-parent, urbanisasi, dan kepadatan struktural (Bursik, 1986; Bursik & Grasmick, 1993; Sampson 1985; Sampson & Groves, 1989). Kekuatan korelatif ini penting untuk dipikirkan bagi upaya menunjukkan kejahatan yang mungkin timbul karena adanya peningkatan disorganisasi sosial karena perkembangan perilaku dari pelaku yang potensial, yang memang berada pada lingkaran kondisi seperti yang dijelaskan oleh faktor korelatif tersebut. Mereka mengurangi pengintegrasian sosial, mengurangi peningkatan isolasi atau pengasingan diri dan anonimitas, serta mengurangi pengawasan atau kontrol sosial informal.
Kemajuan dalam teori disorganisasi sosial sudah membantu membaharui pemahaman kita di mana wilayah perkotaan sudah berubah dibanding dengan awal perkembangannya dari gagasan ini pada tahun 40-an. Studi lain (Bursik& Grasmick 1993; Sampson & Groves 1989; Roundtree & Warner 1999; Sampson, Raudenbush & Earles 1997; Morenoff, 2001) sudah mencoba untuk menetapkan faktor mediasi dari disorganisasi. Sebagai suatu bidang ilmu, teori disorganisasi sosial mempunyai suatu warisan konseptual yang empiris dan kaya, dan suatu literatur yang mendalam dan komprehensif telah dikembangkan terkait dengan sumber disorganisasi sosial.
Baru-Baru ini, Rose dan Clear (1998), mengajukan hipotesa mereka bahwa konsentrasi incarceration yang tinggi boleh jadi merupakan faktor disorganisasi sosial lain. Mereka mengajukan gagasan di mana incarceration, terutama pada tingkat tarip tinggi (hi-cost) bisa mengganggu jaringan sosial dengan merusak sumber-sumber kekeluargaan, ekonomis, dan politis dari pengawasan atau kontrol sosial informal. Konsekuensi dari kerusakan ini, mereka berteori, akan menciptakan tingkat kejahatan yang tinggi. Tinjauan ulang mereka terhadap teori itu, menurut Rose dan Clear (1988) menunjukkan bagaimana tingkat incarceration (penahanan) yang tinggi dan mungkin dapat merusak jaringan sosial yang memang rentan dan merupakan basis pengawasan atau kontrol sosial informal. Mereka juga berpendapat bahwa pelepasan narapidana itu, di mana banyak dari mereka itu mempunyai suatu orientasi kriminal, akan memperburuk permasalahan heterogenitas dari norma yang ada. Dengan menggunakan rumusan ulang teori disorganisasi sosial yang sistemik dari Bursik dan Grasmick (1993) sebagai kerangka, mereka menguraikan suatu model yang tidak berulang yang menyangkut efek incarceration (penahanan).
Dalam konteks bahasan di atas itulah suatu studi tentang pengawasan atau kontrol sosial informal mempunyai dampak penting atas angka kejahatan pada level lingkungan. Untuk menggambarkan hal tersebut, Bellair (1997) yang menganalisis pengaruh frekuensi interaksi tetangga atas kejahatan di dalam 60 lingkungan berkenaan dengan kota, menemukan data bahwa “berkumpul dengan tetangga” (misalnya bergosip) mempunyai dampak negatif pada pencurian, perampokan, dan pencurian kendaraan bermotor. Suatu analisa terkait (Bellair 2000) menemukan data bahwa pengawasan informal terhadap hak milik orang lain oleh tetangga mempunyai dampak negatif bagi beberapa bentuk kejahatan, meskipun bukan bagi kejahatan yang lain. Markowitz dan kawan-kawan (2001) mengajukan data bahwa penurunan kohesi lingkungan mengakibatkan kekacauan dan kejahatan yang lebih besar di lingkungan yang bersangkutan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengawasan atau kontrol sosial informal telah melahirkan suatu spesifikasi teoritis baru tentang kejahatan di tingkat lingkungan ketetanggaan, misalnya mereka mengusulkan suatu “kemanjuran kolektif,” yang dari berbagai fakta menunjukkan bahwa kohesi sosial dan pengawasan atau kontrol sosial informal dapat mengurangi kejahatan (Sampson, Raudenbush & Earles, 1997). Data dari Chicago menyatakan bahwa pengawasan atau kontrol sosial informal, asosiasi sukarelawan, kin/friend yaitu jaringan kekerabatan dan pergaulan, serta organisasi lokal dapat menjadi sumber dari kemanjuran kolektif yang lebih besar yang pada gilirannya mengurangi kejahatan (Morenoff, Sampson & Raudenbush, 2000).
Di dalam klarifikasi penting mereka tentang sifat sistemik berbagai model ekologis, Bursik dan Grasmick (1993) menunjuk bahwa teori disorganisasi sosial mungkin ditetapkan sebagai teori, baik yang menyangkut pengawasan atau kontrol sosial informal ataupun mengenai pengawasan atau kontrol sosial formal. Menurut mereka, mekanisme disorganisasi sosial itulah yang manyatukan kapasitas keduanya, yaitu kontrol sosial informal dan kontrol sosial formal, di mana hal itu dapat berperan untuk memunculkan kejahatan.
Sementara itu, ada bukti yang mendukung pernyataan yang sebaliknya dari argumentasi di atas, seperti yang dikemukakan oleh Velez (2001), bahwa lingkungan yang lemah atau miskin yang terikat secara kuat dengan pemerintah lokal karena terkait dengan pengawasan dan memiliki hubungan yang baik dengan polisi, akan menderita lebih sedikit kejahatan dibanding lingkungan yang kekurangan akses ke sumber daya pengawasan atau kontrol sosial publik. Tetapi hubungan antara pengawasan atau kontrol sosial dan kejahatan di tingkatan lingkungan belum banyak di jelaskan oleh studi sebelumnya.
TEORI AKTIVITAS RUTIN
Teori Aktivitas rutin menunjukkan bahwa jika kita akan mempelajari kejahatan maka kita harus mempertimbangkan tiga elemen yang dapat akan berpengaruh terhadap kemudahan munculnya kejahatan, yakni:a. pelaku yang memang mempunyai motivasi untuk melakukan kejahatan,
b. adanya sasaran yang cocok, dan
c. ketidakhadiran sistem penjagaan yang cakap dan canggih, seperti masyarakat ketetanggaan yang siap siaga, dan sistem alarm untuk mencegah kejahatan.
Segi Tiga Kejahatan Menurut Teori Aktivitas Rutin. Premis dari teori ini adalah bahwa berbagai aktivitas rutin keseharian dari warga masyarakat dapat menjelaskan pola-pola viktimisasi.
Menurut Felson (1987), cara yang lebih efektif dalam hal mencegah kejahatan adalah "mengatur penurunan dan penyaluran hasrat manusiawi sehingga pelaku kejahatan dan target kejahatan" jarang bertemu di daerah yang tidak ada penjagaan atau pengawasan.
Aktivitas rutin adalah pergerakan yang berlangsung secara terus-menerus dan dilakukan secara wajar atau rutin, seperti aktivitas pekerjaan rutin dan aktivitas yang dilakukan pada waktu luang. Kegiatan atau aktivitas itu dilakukan karena termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kebanyakan dari aktivitas seperti ini muncul dan dilakukan di luar rumah, tempat di mana para pelaku kegiatan itu mempunyai peluang yang besar untuk berinteraksi dengan pelaku kejahatan.
Faktor yang terkait erat dengan Teori Aktivitas Rutin adalah pendekatan gaya hidup (Hindelang, Gottfredson, dan Garofalo, 1978). Teori ini berasumsi bahwa kelompok sosial dengan karakteristik umum (seperti kelompok muda usia, laki-laki, orang miskin, bujangan, atau kelompok etnis minoritas) mempunyai role expectations tertentu yang dapat meningkatkan kecenderungan mereka mengalami viktimisasi. Perbedaan dalam gaya hidup dapat juga menyebabkan distribusi yang tidak sama dalam tingkat viktimisasi. Sebagai contoh, menghabiskan waktu di tempat-tempat umum, khususnya pada malam hari, berhubungan dengan viktimisasi, dan orang-orang dengan gaya hidup yang sama sangat mungkin bertemu pada tempat dan waktu yang sama. Dengan demikian, kemungkinan viktimisasi selalu terkait dengan tingkat di mana korban dan pelaku kejahatan membagi bersama karakteristik demografis mereka.
Mari kita ambil contoh atau ilustrasi atas uraian teori di atas yang menekankan bahwa perbedaan dalam gaya hidup dapat juga menyebabkan distribusi yang tidak sama terkait dengan tingkat viktimisasi. Beberapa anak muda yang suka menghabiskan waktunya untuk kumpul-kumpul malam di diskotik (kini dikenal dengan istilah dugem), tentunya secara tidak langsung bersentuhan dengan gaya hidup yang terkait dengan aktivitas mereka tersebut. Bersenang-senang hingga malam, berjoget dan bercengkrama mengharuskan mereka untuk memiliki stamina yang bagus, tidak mudah lelah atau mengantuk. Keharusan yang demikian kemudian menjadikan mereka rentan dengan penggunaan minuman keras dan atau obat-obatan, ekstasi misalnya, yang memang marak tersedia di tempat tersebut. Demikianlah, suatu gaya hidup tertentu memang menjadikan penganut gaya hidup tersebut menjadi rentan sebagai korban (viktimisasi) dari segala perilaku jahat atau penyimpangan tertentu pula.
Asumsi lainnya dari Teori Aktivitas Rutin dan Teori Gaya Hidup, adalah bahwa individu yang menghabiskan waktunya lebih banyak di luar rumah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi korban kejahatan. Cohen dan Felson (1979) menunjukkan bahwa dilakukannya aktivitas yang jauh dari rumah sangat terkait dengan bertambahnya tingkat kejahatan seperti pembunuhan, perkosaan, penyerangan atau penganiayaan, penodongan dan pencurian. Dari salah satu penelitian tentang korelasi antara frekuensi berada di luar rumah dengan viktimisasi terungkap bahwa para bujangan (laki-laki yang belum menikah) lebih banyak menjadi korban kejahatan dibandingkan dengan laki-laki yang sudah menikah. Mengapa demikian? Ternyata bagi laki-laki yang sudah menikah akan cenderung lebih cepat pulang ke rumah karena ditunggu oleh isteri dan anak-anak mereka. Sedangkan bagi laki-laki yang belum menikah akan merasa mempunyai kebebasan untuk tidak cepat-cepat pulang ke rumah sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan. Lebih lama berada di jalanan atau di luar rumah itulah yang menyebabkan mereka lebih rentan mengalami viktimisasi atas kejahatan tertentu, misalnya penodongan, pencopetan, atau penganiayaan.
Teori Aktivitas Rutin menunjukkan suatu pengertian yang mendalam dan sederhana mengenai penyebab permasalahan kejahatan. Intinya adalah bahwa tidak adanya kendali atau pengawasan yang efektif, pelanggar akan mencoba menangkap target yang menarik bagi dirinya. Untuk melakukan suatu kejahatan, seorang pelanggar yang termotivasi harus datang pada tempat yang sama dengan dengan target menarik. Bagi kejahatan terhadap harta benda atau kepemilikan, target adalah suatu hal atau suatu obyek. Bagi kejahatan personal, targetnya adalah orang. Jika suatu target yang menarik tidak pernah ada di dalam tempat yang sama sebagai hal yang memotivasi pelanggar, maka target tersebut tidak akan diambil, dirusak, atau diserang. Hal ini juga akan terjadi jika ada petugas atau pihak lain yang mengawasi hadir karena mereka akan dapat mencegah kejahatan. Jika pengontrol tidak ada, atau ada tetapi tidak berdaya cegah maka kejahatan akan mungkin terjadi.
Dalam konteks kontrol sosial ini, pertama harus mempertimbangkan orang yang berpengaruh di dalam hidup pelanggar potensial. Di dalam kasus pelaku potensial muda usia, orang tua, famili atau keluarga dekat, saudara kandung, kelompok panutan, para guru, pelatih, dan individu lainnya yang ditempatkan dengan cara yang sama. Di dalam kasus pelaku potensial dewasa, orang-orang yang berpengaruh ini dapat meliputi teman atau mitra karib, sahabat karib, famili atau keluarga, dan kadang-kadang anak-anak mereka. Orang-orang tersebut disebut “handlers” di dalam teori aktivitas rutin. Kejahatan akan berlangsung jika ”handlers ” tidak ada, lemah, atau jahat.
Berikutnya, mempertimbangkan target atau korban. Penjaga atau pengawas yang berusaha untuk melindungi target dari pencurian dan kerusakan dan korban potensial dari serangan dan sergapan. Penjaga atau pengawas formal meliputi polisi, petugas keamanan, dan orang yang lain yang pekerjaannya memang akan melindungi hak milik dan orang dari kejahatan. Penjaga atau pengawas informal meliputi tetangga, para teman, dan orang yang lain yang secara kebetulan di dalam tempat yang sama dengan target yang menarik itu. Orang tua, para guru, panutan, dan orang lain yang dekat dengan korban potensial adalah juga penjaga atau pengawas yang potensial. Suatu target dengan suatu penjaga atau pengawas yang efektif adalah lebih kecil kemungkinannya akan diserang oleh pelanggar potensial dibanding suatu target tanpa penjaga atau pengawas. Jika penjaga atau pengawas tidak ada, lemah, atau tidak jujur maka target tidak akan terlindungi dengan baik.
Akhirnya, dengan mempertimbangkan tempat, seseorang sebenarnya memiliki tiap-tiap penempatannya dan kepemilikannya dan menganugerahkan hak-hak tertentu untuk mengatur akses kepada lokasi dan perilaku orang yang menggunakan lokasi itu. Pemilik dan bagian dari pemilik (misalnya karyawan) memelihara tempat dan orang-orang yang menggunakan tempat itu. Pemilik dan karyawan mereka disebut para manajer tempat. Manajer tempat mengendalikan perilaku dari pelanggar dan korban potensial. Contoh manajer tempat meliputi pedagang, pengawal renang, penjaga arena parkir, para pekerja rekreasi dan taman, portir, dan pengelola motel. Di hadapan suatu manajer tempat yang efektif, kejahatan mungkin lebih kecil terjadi dibandingkan jika manajer tersebut tidak ada, lemah atau jahat.
Semua orang, menurut teori ini, menggunakan perkakas untuk membantu memenuhi kejahatannya atau pengendalian sasaran hasil kejahatannya. Perkakas yang digunakan oleh anggota geng bisa saja mencakup kaleng, cat yang percikan, senjata, dan mobil. Pelanggar tanpa akses ke perkakas tersebut nampaknya akan lebih sukar untuk melepaskan diri dari “handlers”, lalu memasuki tempat yang tidak sah, dan memperdaya korban, atau penjaga maupun pengawas, serta para manajer tempat/lokasi yang bersangkutan. Penjaga atau pengawas dapat menggunakan cahaya atau penerangan untuk meningkatkan pengawasan, mengukir alat untuk menandai hak milik, dan alat lain untuk membantu mengurangi kesempatan penipuan. Para manajer tempat/lokasi dapat menggunakan gerbang, pagar, tanda dan perkakas lain untuk mengatur perilaku orang-orang. Dengan perkakas yang efektif, handlers, korban, penjaga atau pengawas, dan para manajer akan mempunyai kesempatan mencegah kejahatan agar tidak terjadi.
Pendapat lain tentang alasan yang mendasari teori aktivitas rutin adalah bahwa terdapat berbagai macam perbedaan sosial di dalam masyarakat konvensional yang menyebabkan meningkatnya peluang terjadinya kejahatan. Kita ambil contoh, pencuri akan lebih suka mencuri barang-barang yang ringan, mudah di angkat dan mudah pula dijual (misalnya uang, perhiasan, dan peralatan elektronik tertentu) daripada mencuri barang-barang yang berat dan tidak mudah diangkat (misalnya AC, mesin cuci, atau m esin foto copy, misalnya). Pencuri akan tahu bahwa hampir setiap rumah mempunyai AC dan mesin cuci (dalam pengertian bahwa rumah yang akan menjadi target pencurian adalah rumah dari keluarga kelas menengah ke atas), tetapi tidak semua rumah dari keluarga kelas menengah ke atas tersebut juga memiliki perhiasan yang banyak atau uang tunai yang juga banyak. Para pencuri kemudian akan lebih suka mentargetkan rumah dari keluarga menengah ke atas yang memiliki perhiasan yang banyak atau uang tunai yang juga banyak. Perbedaan pemilikan perhiasan yang banyak atau uang tunai yang juga banyak yang tersimpan di rumah adalah suatu bukti adanya perbedaan sosial, paling tidak perbedaan cara mengkonsumsi barang dan cara penyimpanan uang di antara keluarga dalam kelas menengah ke atas.
Dengan mencermati berbagai perbedaan sosial di dalam aktivitas rutin maka Cohen dan Felson (1979) lebih menitikberatkan pada pentingnya mempelajari perbedaan sosial yang terkait dengan status dan aktivitas keluarga dalam hubungannya dengan peluang terjadinya kejahatan (Maisener, 1987). Ada beberapa hal yang terkait dengan status dan aktivitas keluarga yang diasumsikan oleh mereka dapat meningkatkan peluang terjadinya kejahatan yang menimpa para keluarga tersebut. Pertama, keluarga tunggal (keluarga yang hanya terdiri dari satu orang saja, misalnya seorang kakek atau nenek yang hidup sendiri) akan lebih rentan menjadi korban kejahatan tertentu, misalnya pencurian atau perampokan. Kedua, para keluarga yang seringkali membutuhkan dan kemudian membeli barang-barang berharga sehingga memiliki daya tarik untuk dicuri atau dirampok. Ketiga, keluarga di mana aktivitas anggotanya meningkat di luar aktivitas keluarga dan ini akan menurunkan tingkat perlindungan diri sehingga rentan menjadi korban kejahatan tertentu. Keempat, extended family menjadikan keluarga tersebut mempunyai perlindungan diri yang lebih besar dibanding nuclear family, karena anggota lebih banyak dan saling menjaga satu sama lainnya.
Teori kriminologi
Inisiasi 7
Inisiasi ini disadur dari Modul 7 Teori Kriminologi (SOSI4302)
White collar crime
Kejahatan sebagai salah satu bentuk akibat dari disorganisasi sosial, memberikan pemahaman bahwa struktur sosial/masyarakat memiliki kontribusi terhadap timbulnya suatu kejahatan. Struktur sosial tertentu dapat merupakan prevalensi terjadinya/timbulnya kejahatan. Struktur sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan munculnya beberapa kejahatan tertentu, di mana kejahatan tersebut didukung oleh perbedaan struktur sosial itu sendiri. Pemahaman dan persepsi yang salah oleh kelompok tertentu yang berada di dalam struktur sosial dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan tertentu, yang dapat digolongkan sebagai kejahatan. Perbuatan itu, menurut orang yang bersangkutan, dimungkinkan dan dibenarkan karena dirinya berada dalam struktur sosial tersebut. Kejahatan tertentu yang akan diuraikan dalam inisiasi ini, adalah white collar crime di mana eksistensinya dimungkinkan oleh keberadaan pelaku dalam struktur sosialnya, sedangkan kejahatan lain dalam bentuk domestic violence harap dipelajari sendiri.
Jika kita berbicara tentang kejahatan, pada umumnya kita selalu menunjuk pada jenis kejahatan yang biasa disebut sebagai ‘kejahatan konvensional’, seperti kejahatan terhadap harta benda, misalnya pencurian, perampokan, atau pembunuhan, perkosaan, serta berbagai jenis kejahatan yang dapat digolongkan sebagai ‘kejahatan kekerasan’. Dalam inisiasi ini akan membahas suatu jenis kejahatan lain, yang karena sifat dan kecenderungannya berbeda dengan jenis kejahatan konvensional. Dalam kasanah kriminologi, kejahatan dimaksud disebut sebagai “white collar crime”.
Pengertian White Collar Crime
Secara harafiah white collar crime dapat diartikan sebagai ‘kejahatan kerah putih’. Istilah white collar crime pertama kali dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland dalam pidatonya di muka American Sociological Society pada tahun 1939. Naskah pidato tersebut kemudian dimuat dalam American Sociologocal Review pada bulan Februari tahun 1940.
Sampai sejauh ini banyak versi yang mencoba mendefinisikan jenis kejahatan ini, namun pada dasarnya semua definisi itu satu sama lain saling melengkapi, karena intinya adalah sama. White collar crime adalah kejahatan yang melibatkan orang-orang yang dihormati dan berstatus sosial tinggi dalam memburu kedudukan mereka (Sutherland dan Cressey, 1960). Versi lain mengatakan bahwa ‘kejahatan orang berdasi’ adalah penyalahgunaan kepercayaan oleh mereka yang pada umumnya dipandang sebagai warga yang jujur dalam kehidupan mereka sehari-hari (Adams, 1987).
Dari dua definisi di atas terlihat ada persamaan kategori kejahatan dimaksud, yaitu bahwa kejahatan tersebut dilakukan orang yang memiliki status tertentu dan kejahatannya menunjukkan pola yang sejenis. Akan lebih jelas lagi apabila dilihat siapa sebenarnya white collar criminals. White collar criminals adalah orang-orang yang pantas dihormati dan berstatus sosial tinggi yang terlibat dalam kejahatan yang berkaitan dengan pekerjaannya (Short Jr, 1973).
Sumber: Short Jr, 1973.
Penjahat berdasi adalah “orang-orang terbaik”: orang terhormat, jarang ada yang miskin dan sering kaya raya; dalam banyak contoh, mereka tergolong orang yang paling berkuasa dan bergengsi dalam masyarakat.
Penjahat berdasi adalah “orang terbaik”, mereka adalah orang terhormat, jarang ada yang miskin dan umumnya kaya raya. Dalam banyak hal, mereka tergolong orang yang paling berkuasa dan bergengsi dalam masyarakat. Tetapi mereka berbohong, mencuri, dan menipu (Adams, 1987). Jelas bahwa orang yang terlibat dalam kejahatan ini bukanlah orang yang miskin atau berstatus sosial rendah (lower class). Mereka adalah -orang yang berasal dari kalangan atas (upper class) dan berkedudukan tinggi di dalam pekerjaannya. Namun di sini perlu ditekankan bahwa white collar crime jangan dikacaukan dengan pengertian kejahatan biasa yang dilakukan oleh mereka dari kalangan atas.
Orang kalangan atas yang melakukan white collar crime perlu dibedakan dengan orang kalangan atas yang melakukan kejahatan biasa, yang juga dilakukan oleh mereka dari kalangan rendah di mana penuntutan pidananya didasarkan pada hukum kejahatan yang biasa pula. Jika orang kalangan atas melakukan pembunuhan, perampokan, perkosaan, pencurian biasa, atau kejahatan lain di bawah kejahatan biasa, mereka semata-mata digolongkan ke dalam penjahat biasa dan dituntut sebagai penjahat biasa pula. Tidak berarti bahwa para penjahat yang tergolong ke dalam white collar semata-mata hanya karena mereka adalah orang kalangan atas (Vold, 1979).
Tipologi dalam White Collar Crime
Cukup banyak referensi yang membahas tentang tipologi dari white collar crime ini, namun dalam modul ini akan dijelaskan tipologi yang diajukan oleh Clinard dan Quiney (1967) dan tipologi dari Conklin (1989). Menurut Clinard dan Quinney (1967), white collar crime dapat dikelompokkan dalam dua macam prilaku, yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior.
Occupational criminal behavior adalah suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai pekerjaan tertentu, dan oleh karenanya mempunyai jabatan tertentu. Perbuatan jahat yang dilakukannya biasanya berhubungan dengan pekerjaannya yang sah menurut hukum. Dengan kata lain, karena jabatannyalah seseorang dapat melakukan suatu perbuatan jahat. Sedangkan Corporate criminal behavior adalah perbuatan jahat yang dilakukan oleh korporasi. Corporate criminal behavior biasa juga disebut sebagai organizational occupational crime.
Kemudian, tipologi yang diajukan oleh Conklin (1989) tentang white collar crime mencakup:
1. Kejahatan korporasi
Beberapa contoh perilaku penyimpangan atau kecurangan yang pada akhirnya dapat diwujudkan dalam tindak kejahatan yang dilakukan oleh korporasi antara lain adalah (a) iklan yang menyesatkan, yang dapat merugikan konsumen demi meraih keuntungan pribadi/korporasi; (b) penipuan/penggelapan pajak, seperti memberikan keterangan tidak benar dalam bea masuk, keterangan tidak benar dalam perbankan atau pasar modal, memberikan keterangan palsu dalam proses penilaian kredibilitas perusahaan, dan sebagainya; (c) penyuapan terhadap berbagai pihak untuk melancarkan ijin operasi, dan sebagainya; (d) eksploitasi tenaga buruh yang nyata-nyata mengabaikan aturan perburuhan; (e) memproduksi barang yang membahayakan; (f) pencemaran lingkungan oleh pabrik; dan (g) penyimpangan dan pencurangan di bidang asuransi
2. Kejahatan yang dilakukan oleh pegawai perusahaan.
Beberapa contoh kejahatan yang dilakukan oleh pegawai perusahaan karena pekerjaan dan jabatan yang dimiliki antara lain adalah: (a) penggelapan uang/membuat biaya tidak benar/fiktif, seperti membuat pembukuan ganda, membuat neraca laba rugi secara tidak benar, serta beberapa bentuk penyimpangan dan kecurangan akutansi lainnya; serta (b) pencurian oleh pegawai
3. Kejahatan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah
Kejahatan jenis ini sebagian besar sama dengan jenis kejahatan yang dijelaskan pada butir kedua. Namun dari segi kerugian, apabila penyimpangan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah tersebut menyangkut masalah kebijakan umum, maka akan berdampak luas dan mempunyai tingkat keseriusan yang tinggi. Beberapa jenis penyimpangan dan kecurangan yang dapat disebutkan, antara lain adalah kebrutalan polisi (police brutality), menerima suap, penggelapan uang. Khusus penyimpangan atau kecurangan yang terkait dengan penyuapan suap, jika hal tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka akan sangat mempengaruhi penegakkan hukum yang seyogyanya justru diperlukan untuk menanggulangi white collar crime (serta kejahatan jenis lainnya). Secara langsung atau tidak langsung, pihak yang seyogyanya dapat menanggulangi white collar crime kini justru telah menjelma menjadi white collar criminal.
White Collar Crime: Suatu Konsekuensi Bisnis atau Kejahatan?
Hingga saat ini masih sering diperdebatkan tentang masalah apakah white collar crime ini adalah kejahatan atau bukan, khususnya dalam merujuk white collar crime sebagai kejahatan korporasi. Sering kali mereka yang dipandang oleh satu pihak sebagai white collar criminals tidak merasa bahwa dirinya adalah seorang penjahat atau telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan (Short Jr, 1973).
Tidak dapat dielakkan bahwa ada sementara ungkapan yang berkembang di kalangan bisnis bahwa dalam mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya haruslah dengan mempergunakan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Hal ini membawa dampak bagi timbulnya upaya para pengusaha untuk dapat menerobos peluang atau lubang dari hukum atau aturan yang ada. Dengan demikian para pengusaha cenderung akan mengembangkan sifat yang menghiraukan apakah perbuatannya akan merugikan orang lain atau tidak. Bagi mereka setiap usaha haruslah dititikberatkan pada bagaimana mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Malangnya, andaikata sebagian masyarakat juga telah dirasuki dan terpengaruh oleh persepsi bisnis semacam ini, pada gilirannya akan dapat menyetujui perbuatan semacam ini berkembang luas.
Untuk menjawab hal ini, Sutherland (Vold, 1979) mengemukakan dalilnya bahwa pelanggaran jenis ini (white collar crime) tetap dapat dianggap sebagai kejahatan, karena beberapa karakteristik yang dimilikinya, antara lain:
1. Pelanggaran tersebut diakui oleh hukum sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat;
2. Memiliki sanksi yang sah yang memerintahkan pemberian hukuman untuk pelanggaran itu;
3. Tingkah laku yang termasuk di dalamnya pada umumnya dilakukan dengan sengaja dalam arti bukan secara kebetulan dan dilakukan secara sadar oleh si pelanggar.
Setelah membahas masalah white collar crime dalam waktu yang sesingkat ini, maka harapan kita semua tentunya adalah kita akan lebih sadar dan mawas diri bahwa di sekitar kita ada suatu sosok kejahatan yang siap muncul sewaktu-waktu. Sosok kejahatan tersebut, pada satu sisi akan sangat menyenangkan dan ‘berguna’ bagi kita, namun pada sisi lain akan dapat menjebak kita untuk menjadi seorang pelaku kejahatan atau sebagai seorang white collar criminal.
Adal layar yang sangat tipis yang memisahkan dua sisi di atas, menikmati atau menghindari kemungkinan kita menjadi seorang white collar criminal. Makin tipis layar tadi makin tidak jelas sesuatu itu baik atau tidak, dan pada gilirannya akan lebih menambah sikap permisif masyarakat terhadap kehadiran segala bentuk white collar criminal.
Suatu renungan tentang peristiwa kejahatan yang berbeda akan penulis contohkan. Jika kita mendengar ada suatu perampokan atau perkosaan, kita akan dengan leluasa dan antusias membicarakannya, entah mengutuk si pelaku entah menerka-nerka latar belakang dilakukannya perampokan atau perkosaan tersebut. Namun jika kita mendengar ada penyelewengan perusahaan atau korupsi yang dilakukan oleh atasan kita di kantor, kita akan malas membicarakan, karena kita anggap sudah wajar bila seseorang pejabat dapat melakukan korupsi atau penyelewengan lain. Sikap yang demikian itu jika berkembang terus di dalam masyarakat, maka akan lebih menyuburkan timbulnya white collar crime itu sendiri.
Teori kriminologi
Inisiasi 8
Inisiasi ini disadur dari Modul 9 Teori Kriminologi (SOSI4302)
Teori Konflik Kebudayaan
Teori konflik kebudayaan adalah kumpulan teori yang menjelaskan peranan suatu budaya di antara kelompok-kelompok yang bertikai yang ada di masyarakat sehingga dapat mengakibatkan munculnya kejahatan. Dalam inisiasi ini akan diuraikan beberapa teori konflik kebudayaan, yakni teori konflik norma tingkah laku dari Thorsten Sellin, teori konflik kelompok kepentingan dari Vold, dan teori konflik otoritas oleh Dahrendorf dan Turk.Konflik Norma Tingkah Laku oleh Sellin
Pada tahun 1938, Sellin menulis buku tentang Konflik Kebudayaan yang didasarkan pada konflik norma tingkah laku. Menurutnya, setiap budaya menanamkan norma budayanya sendiri (aturan tingkah laku) dan menginternalisasikan norma tersebut dalam diri anggota budaya itu. Norma yang dipelajari oleh setiap individu dan di atur oleh budaya di mana individu itu berada. Menurut Sellin, dalam masyarakat homogen yang sehat, biasanya dilakukan dalam jalur hukum dan ditegakkan oleh anggota-anggota masyarakat itu, karena mereka menerima norma itu sebagai suatu hal yang benar. Konflik budaya akan muncul manakala aturan itu tidak dipatuhi oleh anggota budaya. Konflik di sini mencakup “primary conflict” dan “secondary conflict.”
Primary conflict adalah konflik yang timbul di antara dua budaya yang berbeda di mana terciptanya konflik itu karena adanya tiga situasi, yakni:
1. Apabila dua masyarakat ada dalam “closed proximity”, maka kemungkinan ada “border conflict”.
2. Apabila satu kelompok berpindah ke dalam wilayah lainnya, atau setidaknya di mana suatu masyarakat budaya menggunakan kekuasaannya untuk memperluas norma legal mereka untuk mencakup wilayah budaya lainnya.
3. Apabila anggota satu budaya berimigrasi atau berpindah ke dalam wilayah budaya lainnya, di mana mereka akan dipaksa menerima norma budaya tuan rumah.
Sumber: James W. Vander Zanden, The Social Experience, An Introduction to Sociology, First Edition, 1988, New York: Random House.
Gambar di atas, menunjukkan kondisi dua budaya yang saling bersinggungan. Dalam kondisi tersebut tampak adanya perilaku adaptif sehingga persinggungan budaya yang terjadi tidak menimbulkan pertentangan atau konflik budaya.
Dalam menjelaskan masalah kejahatan, maka analisis “primary culture conflict” biasanya digunakan untuk mengkaji masalah yang timbul karena adanya migrasi.
Secondary conflict adalah konflik yang terjadi di dalam satu budaya, khususnya ketika budaya itu mengembangkan sub-kebudayaan masing-masing dengan norma tingkah lakunya sendiri. Hukum biasanya akan mewakili aturan atau norma budaya yang dominan. Norma kelompok lain (sub-kebudayaan) seringkali tidak hanya berbeda tetapi berlawanan dengan norma dominan. Seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam norma tingkah laku sub-kebudayaan semacam itu, dapat melanggar hukum (criminal rules) dari budaya dominan.
Berbeda dengan teori subculture dari Cohen (1955) atau teori dari Cloward dan Ohlin (1960), teori konflik norma tingkah laku dari Sellin, tidak mempertanyakan nilai kelas menengah atau kelas atas, atau mewakili cara-cara untuk mencapai “cultural goals” kelas menengah dan atas, namun, secara intrinsik, norma itu mewakili berbagai nilai dan norma yang ada.
Sellin juga menyatakan bahwa penelitian kriminologi itu pada awalnya belum mempunyai konsep-konsep yang matang dalam metodologi, jadi hanya berupa asumsi-asumsi saja. Sementara aspek penting dalam penelitian kriminologi adalah pencarian sebab-musabab kejahatan. Dari sini ia menjelaskan mengenai apa sebab-musabab itu. Pertama, sebab itu dijelaskan sebagai necessary antecedents atau conditions, yaitu sebagai hal-hal yang muncul dahulu (peristiwa yang mendahului) sebelum terjadinya kejahatan atau peristiwa berikutnya sebagai akibat. Kedua, adalah mencari hubungan fungsional yang tetap antara sebab dengan akibat.
Pada umumnya para peneliti yang mengkaji sebab-musabab kejahatan secara jelas menyatakan bahwa (peran) kriminologi tetap dalam konteks memberi kesan, yaitu tahap spekulatif dari suatu perkembangan. Kesimpulan dari para peneliti ini memunculkan hipotesis yang yang harus diuji kebenarannya sebelum menyatakan bahwa hasilnya sinyatakan relevan dengan permasalahan etiologi (kriminal),dan membuktikan bahwa hipotesis itu telah terbukti secara empirik. Etiologi sendiri sebenarnya merupakan ilmu yang mempelajari asal muasal dari suatu hal. Etiologi kriminal lalu merujuk kepada konsep dari ilmu yang mempelajari asal muasal atau seba sebab terjadinya kejahatan. Dalam konteks inilah sebenarnya penelitian itu merumuskan definisi atau konsep penjahat dan kejahatan. Keduanya, penjahat dan kejahatan, merupakan subjek dari kriminologi tradisional dan keduanya sangat ditentukan oleh eksistensi hukum. Dalam perkembangannya, akhirnya, kriminologi menjadi studi tentang kejahatan dan penjahat.
Selanjutnya, Sellin juga meneliti norma-norma kejahatan dan mengkaitkannya dengan hukum pidana, dan dengan berbagai hal dan perbuatan yang dianggap benar atau tidak benar oleh masyarakat. Ternyata hukum pidana bukan satu-satunya alat yang dapat mengatur tingkah laku (seseorang atau sekelompok orang) di dalam masyarakat meskipun hukum pidana itu mempunyai kekuatan untuk menjerat segala perbuatan yang melanggar hukum. Pada kenyataannya, hukum pidana sangat berpihak atau lebih memperhatikan kepentingan minoritas, sehingga kalangan minoritas mempunyai akses yang rendah dalam hukum pidana.
Kondisi di atas, sesungguhnya disebabkan oleh sistem nilai (ukuran baik tidaknya suatu perbuatan) yang diadopsi dalam hukum pidana yang bersumber dari nilai-nilai yang dimiliki oleh kelompok dominan masyarakat atau penguasa. Dengan kata lain, pendefisian norma kejahatan atau ukuran kejahatan sangat tergantung pada kelompok dominan masyarakat/penguasa tadi. Ini berarti, suatu perbuatan dapat dilarang oleh hukum pidana pada suatu saat tertentu, dan di saat lain kemungkinan perbuatan itu tidak lagi dilarang. Maka terjadi kenisbian, baik dalam dimensi waktu dan dalam dimensi budaya. Ini seperti terjadi di masa berkuasanya Al Capone di Chicago, di mana pada masa itu pembuatan minuman keras dinyatakan ilegal. Namun dalam perkembangannya, yaitu beberapa tahun kemudian, pembuatan minuman keras dinyatakan legal. Dengan demikian meneliti kriminologi dengan hanya berpijak pada hukum pidana dianggap oleh Sellin melanggar kaidah-kaidah ilmiah.
Dalam penjelasannya lebih lanjut, Sellin mengatakan bahwa dalam setiap kelompok masyarakat selalu memiliki norma yang mengatur tingkah laku kelompoknya dan digunakan sebagai pedoman dalam hidup bermasyarakat. Apabila ada anggota yang melakukan pelanggaran terhadap norma tersebut, maka dengan sendirinya yang bersangkutan akan dikenai sanksi oleh kelompoknya. Biasanya, sanksi itu justru lebih kejam daripada sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku kejahatan yang diatur dalam KUHP suatu negara.
Konflik Kelompok Kepentingan oleh Vold
Seperti halnya konsep “secondary conflict” yang dikemukakan Sellin, ide Vold mengenai kelompok kepentingan ini didasarkan pada adanya konflik dalam sebuah budaya. Dalam konteks ini, Vold melihat konflik antara kelompok kepentingan yang ada dalam budaya yang sama dan di dalam sub kebudayaan (Vold, 1958).
Menurut Vold, pada hakekatnya orang mempunyai sifat “group oriented” dan mereka yang mempunyai kepentingan yang sama bersatu membentuk sebuah kelompok dalam upaya mendorong kepentingan mereka masuk ke dalam kancah politik. Berbeda dengan sub kebudayaan, kelompok semacam ini agaknya bersifat sementara. Jadi, hanya ada dan tetap ada selama masih dikehendaki untuk mencapai tujuan yang diharapkan mereka. Anggota-anggota budaya itu secara bersama menunjukkan kepercayaan atas tujuan yang diharapkan, dan menjadi lebih dekat/terikat dengan kelompok karena mereka bekerja dengan anggota-anggota lain untuk pencapaian tujuan itu. Anggota-anggota budaya itu secara psikologis menjadi semakin bergantung pada kelompok. Hal ini terjadi karena mereka meluangkan lebih banyak waktu dan upaya mereka di dalam kelompok itu. Apabila tujuan tercapai, biasanya para anggota kelompok itu akan mengingkasri kesetiaan mereka terhadap kelompok, dan kelompok itu akhirnya bubar. Teori Vold, dengan demikian, berasal dari perspektif sosial-psikologi.
Ide pokoknya ialah bahwa berbagai kelompok itu mempunyai banyak kepentingan dan seringkali kepentingan itu bertentangan satu dengan lainnya. Ketidaksesuaian atau pertentangan inilah yang menimbulkan konflik. Ketika kelompok mempunyai kepentingan yang sama, maka acapkali konflik ini terselesaikan melalui kompromi yang memberikan stabilitas kepada sebuah masyarakat. Ketika kelompok ini mempunyai kekuatan yang berbeda, satu kelompok dapat menang dengan menggunakan kekuasaan negara untuk mweujudkan kepentingan kelompok itu. Manakala hal tersebut melibatkan hukum pidana, maka kelompok dominan didukung oleh Polisi, pengacara dan pengadilan guna melindungi kepentingannya dalam menghadapi kepentingan kelompok yang secara politis lebih lemah. Anggota kelompok yang kalah acapkali terperosok pada sisi yang salah dari hukum itu. Namun agaknya hal itu merupakan respon yang dianggap wajar terhadap kritik atau ketidakpuasan pada “way of life” yang mereka percayai kebenarannya.
Konflik Otoritas oleh Dahrendorf dan Turk
Kedua tokoh ini memfokuskan pada hubungan antara otoritas dan subjeknya. Bagi Dahrendorf, kekuasaan adalah faktor yang dianggap penting. Sebaliknya bagi Turk, kekuasaan didasarkan pada status sosial.
Dahrendorf (1959), menyerang ide Marxis karena Marxisme hanya memperhatikan satu bentuk kekuasaan, yaitu pemilikan sumber/sarana produksi. Marx meletakkan konflik dalam sistem ekonomi yang tidak adil dan memandang hal ini sebagai sesuatu yang dapat dihilangkan. Sebaliknya, Dahrendorf memandang persoalan ini karena adanya perbedaan kekuasaan, dan khususnya dalam distribusi otoritas. Seluruh masyarakat yang sehat membutuhkan perbedaan dalam tingkat kekuasaan atau otoritas individu, sehingga norma atau aturan budaya dapat dijalankan. Jikalau satu pihak mempunyai aturan, maka ia membutuhkan sanksi untuk melaksanakannya. Untuk menjamin bahwa sanksi itu efektif, seseorang harus mempunyai kekuasaan agar dapat melaksanakan sanksi itu, dengan demikian timbulnya konflik dapat dieliminir.
Turk (1969) juga mengakui bahwa konflik sosial merupakan bagian yang nyata dan tidak dapat dielakkan dari kehidupan sosial, di mana seseorang harus berada dalam otoritas. Bagi Turk, apabila tidak ada konflik dalam tatanan sosial maka hal itu tidaklah sehat. Karena ketiadaan konflik menunjukkan bahwa dalam masyarakat tersebut terdapat konsensus yang terlalu besar, atau individu secara berlebihan dikontrol atau ditekan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Namun demikian, jika intensitas timbulnya konflik tersebut sangat tinggi maka hal itu juga tidak diinginkan, karena tidak ada masyarakat dapat sehat tanpa tingkat konsensus yang begitu tinggi. Dengan demikian, Turk memandang ketertiban sosial didasarkan pada “coercion-consensus model”, dan otoritas harus menjamin bahwa keseimbangan antara kedua hal itu tidak hilang.
Turk tertarik pada kondisi di mana perbedaan sosial dan budaya antara penguasa dengan masyarakat berakibat pada terciptanya konflik. Dalam analisisnya, pertama-tama, ia membedakan antara norma budaya dan norma sosial. Norma budaya menentukan secara verbal perilaku apa yang diharapkan dan perilaku apa yang tidak diharapkan. Norma sosial mewakili apa yang sebenarnya dilakukan dan apakah perilaku aktual itu. Bagi penguasa (pemerintah), norma budaya biasanya diwujudkan dalam hukum. Sedangkan norma sosial adalah penegakkan hukum itu sendiri. Bagi subjek (masyarakat), norma budaya dapat berupa sub kebudayaan, sedangkan norma sosial merupakan pola perilaku aktual individu. Secara jelas, norma budaya dan norma sosial dari yang dianut penguasa dapat berbeda dari norma budaya dan norma sosial yang dimiliki masyarakat. Turk juga melihat kemungkinan bahwa dalam setiap kelompok, norma budaya dan norma sosial tidak dapat bersesuaian. Dalam konteks ini, ia menyatakan adanya empat kemungkinan situasi, yakni :
1. Otoritas atau penguasa yang melaksanakan hukum (di sini norma budaya dan norma sosial adalah bersesuaian). Kepercayaan dan perilaku subjek sangat serasi (di sini norma budaya dan norma sosial bersesuaian). Dalam kondisi yang demikian, norma budaya setiap kelompok adalah sama sehingga tidak ada konflik. Apabila norma budaya tiap kelompok berbeda maka akan terjadi konflik dengan intensitas tinggi. Misalnya, apabila negara melarang peredaran minuman keras (beralkohol) dan mencoba secara aktif melaksanakan larangan itu, namun subjek percaya bahwa minuman keras seharusnya secara bebas tersedia dan mereka dapat secara aktif menggunakannya, maka kemungkinan akan terjadi konflik yang sangat tinggi.
2. Otoritas sangat longgar dalam penegakkan hukum (sehingga walaupun norma budaya ada, hal itu tidak dilakukan, yaitu norma sosial tidak bersesuaian) dan subjek tidak bertindak atas kepercayaannya (juga, walaupun norma budaya ada, norma sosial tidak bersesuaian). Dalam situasi seperti itu, potensi konflik akan sangat rendah, Hingga sekarang ini, hal ini merupakan situasi dengan blasphemy laws. Walaupun blasphemy laws merupakan suatu pelarangan (offense), otoritas atau pihak penguasa tidak secara aktif melaksanakannya. Selain itu, meskipun banyak orang tidak beriman (dengan agama) Kristen mereka tidak secara aktif berupaya melanggar hukum itu. Jikalau situasi tidak dapat memberikan tension antara kelompok, maka tingkat konflik adalah rendah.
3. Otoritas sebenarnya menegakkan hukum (dengan demikian norma budaya dan norma sosial bersesuaian) namun subjek, walaupun mempunyai berbagai norma budaya atau kepercayaan, tidak bertindak atas norma itu (walaupun norma budaya ada, maka norma sosial tidak bersesuaian). Andaikata otoritas menjatuhkan dan menegakkan hukum terhadap soft drug namun subjek, walau tidak menentang soft drug, sedikit menggunakannya. Di sini. konflik akan terbatas pada segelintir kasus di mana subjek itu menyalahgunakan obat itu.
4. Otoritas sangat longgar dalam penegakkan hukum (sehingga walaupun norma budaya ada, norma itu tidak dilaksanakan, yaitu norma sosial tidak bersesuaian) namun kepercayaan dan perilaku subjek sangat dekat (norma budaya dan norma sosial subjek bersesuaian). Negara, misalnya, dapat melegalisasi “soft drug” tetapi tidak menegakkan hukum itu; tetapi subjek menentang hukum itu dan secara aktif berpartisipasi dalam penggunaan “soft drug”. Hasilnya, potensi konflik yang ada di sini rendah dibanding dengan tiga situasi sebelumnya, karena di sini penggunaan obat oleh subjek tidak mungkin dihukum.
Ketidaksesuaian antara norma budaya dan norma sosial tidak hanya merupakan satu-satunya faktor yang dapat menyebabkan konflik. Organisasi dan kecanggihan otoritas (penguasa) dan subjek (masyarakat) juga mempengaruhi tingkat konflik. Otoritas, selain daripada rakyat banyak (mob), pada hakikatnya dapat terorganisir untuk mendapatkan dan (tetap) menguasai kekuasaan. Pada satu sisi, subjek sering tidak memiliki organisasi; namun subjek yang terorganisir --oleh, misalnya anggota gang yang mempunyai hubungan yang sangat erat-- akan lebih dapat menentang kekuasaan negara. Turk berpendapat bahwa jikalau mereka yang sedang melakukan kegiatan secara ilegal itu terorganisir, maka akan semakin besar konflik antara subjek dan negara (penguasa). Hal yang menarik adalah dalam memberikan hukuman kepada seseorang/ individu. Pengadilan biasanya selalu memperlakukan kejahatan terorganisir secara lebih keras. Ini menunjukkan bahwa organized crimes dianggap lebih menentang negara artinya, oleh pengadilan, dianggap lebih menentang otoritas atau kekuasaan negara karena organized crimes dianggap lebih mengancam dan mengkhawatirkan.
Ketika individu memahami perilaku pihak lain dan menggunakan pengetahuan atau pemahamannya itu untuk melakukan manipulasi, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang cerdas/canggih. Jikalau otoritas/penguasa menjadi lebih canggih, maka otoritas itu akan mampu meyakinkan subjek agar bertindak secara hukum demi kepentingan dan keselamatan mereka sendiri. Cara ini sebenarnya untuk mereduksi keharusan mempercayai cara-cara yang koersif dalam upaya mentaati hukum. Pelaku kriminal yang cerdas/canggih akan mampu menyembunyikan perbuatan kriminal mereka dengan berpura-pura mentaati hukum. Sedangkan pelaku kriminal yang kurang cerdas/canggih akan terjebak dalam konflik yang terus menerus. Apakah ia akan melakukan kejahatan atau tidak, apabila melakukan kejahatan maka ia akan berhadapan dengan hukum penguasa, berhadapan dengan negara. Dengan demikian, akan tampak bahwa semakin canggih negara dan pelaku kriminal, maka semakin rendah timbulnya konflik.
Sumber: James W. Vander Zanden, The Social Experience, An Introduction to Sociology, First Edition, 1988, New York: Random House.
Anggota geng yang mempunyai hubungan sangat erat
Dalam kasus pelaku kriminal, Turk menyatakan empat pengelompokan yang mewakili empat tingkat konflik, yakni:
1. Tidak terorganisir dan tidak canggih. Misalnya, geng pemuda bentuk kegiatan pelaku kejahatan ini dapat menimbulkan sebag besar konflik di masy yang kemungkinan besar akan dapat menimbulkan konflik.
2. Terorganisir dan tidak canggih. Misalnya tunawisma ataupun pelaku pencurian yang ceroboh yang kejahatannya jelas namun tidak mengancam sehingga mungkin tidak menimbulkan suatu konflik yang serius di dalam masyarakat.
3. Tidak terorganisir dan canggih. Misalnya, pelaku penggelapan atau “con artist”, di mana kejahatan mempunyai visibilitas yang rendah dan ancaman dari pelaku kriminal tunggal rendah. Konflik di sini ada pada tingkat yang paling rendah di antara empat situasi ini.
4. Terorganisir dan canggih. Misalnya gang mafia, dimana konflik antar geng akan sering terjadi. Kejahatan di sini menjadi terdeteksi dan bahkan dilakukan secara terang-terangan. Di sini konflik antar geng pelaku kejahatan dengan penegak hukum atau masyarakat secara umum menjadi serius.